Oleh : Sil Joni *)
Opini | Okebajo.com | Fenomen ‘beli suara (vote buying) ketika kontestasi politik digelar, sebetulnya bukan sekadar ‘gosip politik’, tetapi memang peristiwa nyata. Anehnya, meski transaksi ‘jual-beli suara’ itu, diperagakan secara gamblang, hampir pasti tak ada aktor atau calon legislatif (Caleg) yang bisa divonis secara meyakinkan sebagai ‘terdakwa’ karena terbukti menggunakan cara curang dalam meraih simpati publik.
Para pemain dan broker politik sepertinya begitu ‘cerdik’ dalam mengelabui persepsi publik melalui penerapan ‘modus operandi’ yang canggih.
Mereka cenderung beralibi bahwa apa yang ditampilkan itu, merupakan bagian dari ongkos politik. Biaya yang dikeluarkan dalam pelbagai hajatan politik memang sangat mahal.
Pemberian uang sebagai ungkapan terima kasih kepada konstituen dianggap sebagai bagian dari pengeluaran yang wajib ditanggung oleh sang Caleg.
Karena itu, publik mesti mempunyai referensi pengetahuan yang kredibel untuk memastikan apakah tindakan atau perilaku dari politisi di wilayah kita, masuk dalam kategori politik uang atau tidak.
Dengan perkataan lain, sebaiknya publik bisa mengidentifikasi jenis-jenis politik uang itu.
Kajian dari Aspinall & Sukmajati (2015) berikut ini, bisa menjadi acuan. Keduanya berhasil menginvestigasi secara akurat pelbagai ‘modus’ politik uang itu. Hasil riset empiris yang mereka lakukan dapat dielaborasi dalam lima poin di bawah ini.
Pertama, perilaku pembelian suara (vote buying). Indikasi yang bisa dilihat adalah pembayaran uang tunai/ barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pemilu yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi.
Saya kira, pemberian bantuan seperti sapi, babi dll dan pembentukan kelompok arisan yang difasilitasi oleh Caleg yang disertai dengan ‘kesepakatan’ untuk mendukung dirinya di hari pemilihan, dalam level tertentu, masuk kategori politik uang juga.
Kedua, pemberian-pemberian pribadi (individual gifts). Untuk mendukung upaya pembelian suara yang lebih sistematis, para kandidat seringkali memberikan berbagai bentuk pemberian pribadi kepada pemilih. Biasanya mereka melakukan praktik ini ketika bertemu dengan pemilih, baik ketika melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau pada saat kampanye.
Pemberian seperti ini seringkali dibahasakan sebagai perekat hubungan sosial (social lubricant), misalnya, anggapan bahwa barang pemberian itu sebagai kenang-kenangan. Ada juga yang menggunakan alasan budaya (adat) untuk menjustifikasi pemberian tersebut.
Ketiga, pelayanan dan aktivitas (services and activities). Maksudnya adalah kandidat seringkali menyediakan atau membiayai beragam aktivitas dan pelayanan untuk pemilih. Bentuk aktivitas yang sangat umum adalah kampanye pada acara perayaan oleh komunitas tertentu. Di forum ini biasanya para kandidat mempromosikan dirinya.
Contoh lain adalah penyelenggaraan pertandingan olahraga, turnamen bola volley, forum seminar, demo memasak, menyanyi bersama, pesta-pesta yang diselenggarakan oleh komunitas dan masih banyak lagi. Tidak sedikit kandidat yang juga membiayai beragam pelayanan untuk masyarakat, misalnya check-up dan pelayanan kesehatan gratis.
Keempat, barang-barang kelompok (club goods). Pemberian untuk keuntungan bersama bagi kelompok sosial tertentu ketimbang bagi keuntungan individu, yaitu donasi untuk asosiasi-asosiasi komunitas dan donasi untuk komunitas yang tinggal di lingkungan perkotaan, pedesaan atau lingkungan lain.
Kelima, pork barrel projects. Proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk wilayah geografis tertentu. Kegiatan ini ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana publik dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu.
Tidak sedikit kandidat menjanjikan akan memberikan program-program dan proyek-proyek yang didanai dengan dana publik untuk konstituen mereka yang biasanya berupa proyek-proyek infrastruktur berskala kecil atau keuntungan untuk kelompok komunitas tertentu, terutama untuk aktivitas-aktivitas yang bisa menghasilkan pendapatan.
Sedangkan untuk Caleg petahana, biasanya mereka mengklaim diri ‘telah berjasa’ karena telah memfasilitasi pengerjaan proyek yang dibiayai oleh uang publik di sebuah wilayah. Kampung atau desa di mana proyek itu dikerjakan dianggap sebagai basis dari Caleg tersebut.
Lima poin yang disorot oleh dua ilmuwan politik itu, rasanya sudah, sedang dan akan terjadi dalam ruang politik kita. Saya sangat yakin bahwa publik kerap menjumpai dan bahkan menjadi penikmat dari aliran pemberian politik itu. Sayangnya, kita tidak melihat fenomena itu sebagai ‘kecurangan politik’.
Alih-alih dianggap kejahatan, justru kita menilai pemberian semacam itu, sebagai ‘rejeki’. Sang caleg dianggap sebagai pribadi yang murah hati dan dermawan.
*) Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.