Anton Hantam : Pengangkatan Haji Ramang Sebagai Fungsionaris adalah Sebuah Pelecehan Adat Budaya Manggarai

Avatar photo

Anton Hantam (78) salah satu sesepuh Fungsionaris Adat Nggorang dan juga salah satu orang kepercayaan almarhum Haji Ishaka (ayah Haji Ramang) meradang ketika mendengar adanya pengakuan dari salah satu saksi yang dihadirkan dalam persidangan lanjutan kasus sengketa tanah Keranga di Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada tanggal 17 Juli 2024. Saksi Yohanes Don Bosco mengaku di hadapan hakim bahwa pengumuman Haji Ramang sebagai penerus Fungsionaris Adat dilakukan di lokasi saat penguburan almarhum Haji Ishaka pada tahun 2003. Anton menilai bahwa berdasarkan keterangan saksi tersebut, mau menunjukan bahwa kesakralan Fungsionaris Adat Nggorang tidak lebih semacam arisan yang hanya bisa diumumkan pakai microfon.

Labuan Bajo, Okebajo.com – Sidang perdata kasus sengketa tanah seluas 11 Hektar yang digelar di PN Labuan Labuan Bajo pada tanggal 17 Juli 2024, sebagaimana diberitakan media ini sebelumnya, agenda persidangan kali ini adalah pemeriksaan saksi dari pihak tergugat, ahli waris Niko Naput, serta saksi ahli dari pihak turut tergugat, Santosa Kadiman.

Adapun para saksi dari pihak tergugat yang hadir diantaranya Ibu Maria (Istri alm. Don Amput) dan Bapak Yohanes Don Bosco, sedangkan saksi dari pihak turut tergugat yaitu Aryo Yuwono (Staf dari Santosa Kadiman/pemilik hotel St. Regis) dan saksi ahli Profesor Agraria dan Hukum Adat Universitas Hasanudin Makassar Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H., M.Hum.

Fakta persidangan terungkap bahwa Niko Naput (pihak tergugat) memiliki tanah 40 hektar, dan tanah itu dibeli oleh Santosa Kadiman (Hotel St.Regis) sebagaimana tertera dalam PPJB Notaris Bili Ginta Januari 2014. Tanah seluas itu, yang sebagian besar tanahnya diduga tumpang tindih di atas tanah Pemda dan tanah warga.

Demikian yang disampaikan Jon Kadis, S.H., selaku anggota tim Kuasa Penggugat. Ia menjelaskan bahwa untuk tumpang tindih di atas tanah Pemda itu, Fungsionaris Ulayat Nggorang sudah membatalkannya pada tahun 1998, namun Santosa Kadiman, Haji Ramang dan BPN Manggarai Barat diduga tidak menghiraukannya dengan tetap mencantumkan keterangan tanah tersebut di akta PPJB Notaris Billy Ginta.

Jon Kadis menuturkan bahwa perbuatan Santosa Kadiman, Haji Ramang, dan Niko Naput adalah mencemari adat budaya masyarakat Nggorang, Manggarai, antara lain karena hal sebagai berikut.

“Pertama, mencederai adat penerimaan dan pemberian tanah ulayat kepada anggota masyarakat adat dengan “kapu manuk lele tuak”, dimana salah satu korbannya adalah Muhammad Rudini, cucu ahli waris Ibrahim Hanta yang telah memperoleh tanah 11 ha sejak tahun 1973, karena belakangan Niko Naput mengklaim tanah tersebut miliknya, lalu disertifikatkan oleh PBN Manggarai Barat,” ungkap Jon

Kedua, kata Jon Kadis bahwa saat penguburan jenazah almarhum Haji Ishaka (ayah Haji Ramang) pada tahun 2003 di pekuburan Muslim Labuan Bajo, pengumuman penerus fungsionaris ulayat Haji Ramang dilakukan saat itu, hal ini ditemukan dalam fakta persidangan perdata oleh saksi Yohanes Don Bosco.

Saksi pihak tergugat atas nama Yohanes Don Bosco mengaku bahwa terkait pengangkatan Haji Ramang Ishaka sebagai Fungsionaris Adat Nggorang itu diumumkan pada saat acara penguburan Haji Ishaka (Ayah Haji Ramang) di Perkuburan Umum Muslim Desa Gorontalo pada tahun 2003.

“Hal ini mencemari dan mencederai adat budaya masyarakat Manggarai pada umumnya, karena untuk pengukuhan penerus fungsionaris adat itu biasanya dilakukan di rumah adat bersama tokoh adat lainnya”,, kata Jon Kadis

“Dari penelitian di berbagai masyarakat adat oleh saksi ahli Profesor Agraria dan Hukum Adat Universitas Hasanudin Makassar Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H., M.Hum. yang hadir saat sidang tanggal 17 Juni 2014 tidak pernah menemukan hal seperti itu”, tutur Jon Kadis, S.H., anggota tim Kuasa Penggugat, yang menanyakan hal tersebut kepada saksi ahli tersebut.

Ketiga bahwa betul Haji Ramang Ishaka adalah turunan dari Haji Ishaka, namun Ia tidak berhak untuk membagi tanah dan hal itu juga dipertegas oleh Anton Hantam (78) salah satu sesepuh Fungsionaris Adat Nggorang dan juga salah satu orang kepercayaan almarhum Haji Ishaka (ayah Haji Ramang.red) ketika ditemui media ini pada Kamis (18/7) siang di rumah kediamannya.

Anton Hantam mengaku bahwa apa yang disampaikan oleh Yohanes Don Bosco di persidangan adalah sebuah pembohongan, karena Ia sendiri juga hadir di lokasi saat penguburan Haji Ishaka pada tahun 2003.

“Itu tidak benar, saya hadir saat itu. Tidak ada itu pengumuman pengangkatan Haji Ramang sebagai pengganti dari Haji Ishaka selaku Fungsionaris Adat Nggorang. Dan tidak mungkin itu dilakukan pada saat situasi berduka. Saat itukan situasi lagi berduka, tentu kalaupun ada rencana seperti itu ya tara caranya bukan langsung saat di penguburan. Jadi tidak langsung diumumkan begitu saja. Semua tokoh-tokoh masyarakat harus diundang untuk membicarakan hal ini,” kata Anton

Anton menuturkan bahwa keterangan saksi Don Bosco ini menggambarkan sebuah pelecehan terhadap adat istiadat dan kebiasaan dalam budaya Manggarai.

“Ini sebuah pelecehan terhadap adat istiadat. Karena prosedur ataupun tata cara itu tidak pantas dan tidak layak dilakukan di tempat penguburan karena yang hadir di lokasi penguburan saat itu sebagai pelayat bukanlah sebagai masyarakat Fungsionaris Adat Nggorang. Keterangan ini mau menunjukan bahwa mereka tidak memiliki masyarakat adat, mereka hanya berpikir tentang tanah. Dari keterangan tersebut mau menunjukan bahwa kesakralan Fungsionaris Adat Nggorang tidak lebih semacam arisan yang hanya bisa diumumkan pakai microfon. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan masyarakat adat Nggorang terkait legalitas pengangkatan yang dinilai cacat adat,” tegas Anton

“Keterangan dari saksi Yohanes Don Bosco itu bohong, karena sesungguhnya Ramang itu bukan Fungsionaris apalagi membagi dan menata tanah ulayat Masyarakat adat Nggorang” tutup Anton Hantam, Tokoh adat di Labuan Bajo yang dulu selalu ada bersama Hj Ishaka ketika ada pertemuan tokoh masyarakat adat.

Keempat, Jon Kadis menegaskan bahwa Haji Ramang yang menampilkan dirinya sebagai penerus otomatis dari Fungsionaris Ulayat terdahulu, almarhum Haji Ishaka, dan ia mengangkat Yohanes Don Bosco sebagai Kuasa Penata Tanah menggantikan Haji Djudje, sebagaimana kesaksian fakta persidangan adalah sungguh mencederai existensi keluhuran adat budaya Nggorang dan Manggarai pada umumnya.

“Diduga turut bekerjasama dalam aksi penipuan publik itu adalah Niko Naput, Santosa Kadiman dan BPN Manggarai Barat,” tegas Jon

Selain itu, DR. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H. pada Kamis, (18/7/2024) pagi menjelaskan bahwa fakta dalam persidangan berdasarkan keterangan dari saksi pihak tergugat atas nama Maria (pemilik batas tanah bagian Utara dari obyek sengketa. Red) yang menyebut bahwa tanah milik suaminya almarhum Don Amput seluas kurang lebih 3 hektar yang terbentang mulai dari atas jalan Labuan Bajo-Keranga, sampai di pantai laut. Batas bagian Barat itu adalah laut, bagian selatannya tanah milik Istri Niko Naput dan Niko Naput, bagian timurnya bukit, sedangkan bagian utaranya tanah milik Haji Ramang Ishaka.

Anehnya kata Indra, ketika diperlihatkan gambar peta, lokasi tanah itu di tanah milik Mori Rongkeng atau sebelah utaranya Mori Rongkeng (Putra) dan tanah tersebut sudah dijual kepada Baba Hugeng.

“Kesaksian Maria (Istri alm. Don Amput) menunjuk lokasi tanahnya, di lokasi tanah Mori Rongkeng persis luasnya kurang lebih 3 hektar, ini menunjukkan bahwa BPN salah ploting, juga penipuan Niko Naput dan Haji Ramang. Karena letak lokasi tanah milik ahli waris Niko Naput atas nama Maria F. Naput dan Paulus G. Naput yang sudah terbit SHM tahun 2017, seratus % salah ploting, ” kata Kuasa Hukum ahli waris almarhum Ibrahim Hanta

Selain itu, keterangan dari saksi tergugat atas nama Aryo Yuwono yang diketahui sebagai salah satu staf dari Erwin Kadiman Santosa bahwa Ia ditugaskan oleh Santosa Kadiman untuk datang ke Labuan Bajo menemui orang yang bernama Yohanes Don Bosco.

“Aryo ditugaskan oleh atasannya Santosa Kadiman untuk datang ke Labuan Bajo menemui orang yang bernama Yohanes Don Bosco. Saat itu Aryo dengan Yohanes Don Bosco cari lokasi di kawasan Keranga sekitar tahun 2013. Aryo mengaku bahwa yang tunjuk batas saat itu adalah Yohanes Don Bosco (dia tunjuk saja), lalu Aryo jalan keliling cari koordinat menggunakan google. Kurang lebih 40 hektar. Selanjutnya Aryo mengaku bahwa saat itu Niko Naput memperlihatkan 3 surat alas hak, dan langsung ke Notaris, tandatangan PPJB di Notaris Bili Ginta awal tahun 2014,” jelas Indra

Anehnya kata Indra, ketika ditanya Hakim apakah saudara saksi tahu atau pernah dengar bahwa surat-surat alas hak itu sudah dibatalkan oleh Fungsionaris ulayat? Saksi menjawab “saya tidak tau itu”. “Apakah saudara tahu bahwa tanah 40 hektar itu di dalamnya ada tanah Pemda? Pernah dengar ada perkara tanah pemda di kawasan itu?” Saksi juga menjawab “tidak tahu”.

“Selain itu, saksi Aryo juga menyebut angka luas tanah dalam PPJB 40 hektar, namun Hakim perlihatkan 3 warkah masing-masing 10 hektar, 16 hektar dan 5 hektar sehingga jumlahnya 31 hektar bukan 40 hektar. Terhadap rincian rincian luas tanah di warkah itu, Saksi Aryo menjawab bahwa ia tidak mengetahui rincian jumlah luasnya dan ia mengaku itu urusan Bosnya Santosa Kadiman bersama Notaris. Dari keterangan ini bahwa angka 40 Ha di PPJB merupakan angka fiktif,” kata Indra

Selain ditanya hakim, pengacara dari penggugat menanyakan kepada saksi Aryo terkait kompetensinya sehingga saksi dipercayakan oleh Kadiman Santosa untuk melakukan pengukuran? Saksi juga tidak bisa menjawab.

Berdasarkan keterangan saksi Aryo, Indra menduga kuat bahwa selain tanah milik ahli waris Ibrahim Alm. Ibrahim Hanta yang diklaim oleh Niko Naput diduga di dalamnya termasuk tanah milik Pemda Manggarai Barat bagian dari 40 hektar yang sudah diPPJB-kan tahun 2014 di Notaris Billy Ginta.

Selain itu, menurut Indra keterangan dari saksi Yohanes Don Bosco justru kontrakdiktif dengan pernyataan Haji Ramang pada tahun 2021 di Pengadilan Tipikor Kupang sebagai saksi dalam kasus lahan Pemda Toro Lema Batu Kalo yang sudah ada putusan ingkrah.

“Ayah saya (Haji Ishaka) sebagai Dalu meninggal pada tahun 2003 dan sebagai penggantinya adalah kakak saya yaitu Haji Umar Ishaka. Namun dalam pelaksanaan fungsi sehari-hari dilakukan oleh saya, karena Haji Umar tidak sehat Fisik dan mental. Sedangkan Haku Mustafa sebagai Wakil Fungsionaris adat meninggal pada tahun 2000 dan kedudukannya digantikan oleh saya,” ungkap Haji Ramang mengutip dari hasil BAP kasus aset Pemda yang salinannya diperoleh media ini.

Indra menjelaskan bahwa ketika kami (kuasa penggugat) bertanya kepada saksi Yohanes Don Bosco kenapa fungsionaris adat/ulayat Nggorang itu beda dengan Fungsionaris adat Manggarai umumnya, saksi tidak menjawab.

“Ketika ditanya kenapa di Nggorang beda, tidak dijawab, tapi menyebutkan bahwa untuk Nggorang dan Mburak, Fungsionaris adat/ulayatnya adalah Dalu dan turunannya. Lalu ketika Hakim tanya apakah Saudara kenal Santosa Kadiman? Dijawab ‘kenal, ia menemui saya untuk minta bantuan cari lahan untuk investasi di Labuan Bajo. Lalu saya hubungi Niko Naput, lalu terjadilah hubungan antara mereka,” jelas Indra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *