Oleh: Sil Joni)*
Opini, Okebajo.com, – Menulis di media, entah cetak maupun media dalam jaringan (daring) apalagi di akun media sosial, tidak sama dengan menulis di jurnal ilmiah atau buku.
Apa gunanya kita menghasilkan tulisan berkualitas dengan menggunakan langgam bahasa baku, tetapi tidak dibaca dan dimengerti oleh mayoritas pembaca.
Sebuah artikel opini di media berpotensi ‘ditinggalkan’ pembaca ketika gaya bahasa atau diksi yang digunakan terlalu rumit bagi pembaca umum.
Tulisan semacam itu, hanya berhasil sebagai sebuah wacana tekstual, tetapi ‘gagal’ dinikmati oleh khalayak pembaca. Ada yang berpendapat bahwa jika artikel yang kita racik itu, tidak dipahami oleh bocah kelas VI Sekolah Dasar (SD), maka kita ‘gagal’ menjadi penulis.
Saya sering dikritik karena sebagian besar tulisan saya yang melayang di ruang publik digital, tidak dimengerti oleh sebagian pembaca.
Mereka menilai bahwa saya belum bisa menggunakan bahasa sederhana yang mudah dicerna oleh publik pembaca. Ada yang berkata: “Saya tidak bisa membaca semua tulisannya, karena tidak mudah bagi saya untuk memahami istilah dan isi yang terkandung di dalamnya”.
Tulisan yang baik dan bermutu itu, tidak identik dengan banyaknya kosakata teknis yang membuat dahi pembaca berkerut. Saya diingatkan oleh seorang teman agar jangan terlalu ‘bergenit ria’ dengan pelbagai terminologi filsafat yang hanya dimengerti oleh segelintir orang. Sebuah masukan yang sangat positif.
Mungkin itu kelemahan ‘wacana tekstual’. Para produsen teks, agak sulit untuk menyesuaikan diksinya dengan kemampuan pembaca. Seorang penulis kerap begitu egois karena membayangkan bahwa level kapasitas mitra tuturnya setara dengan dirinya. Tentu saja, saya termasuk salah satu penulis yang belum keluar dari perangkap egoisme itu.
Padahal, ketika tulisan itu beredar di media, maka teks itu sepenuhnya menjadi miliki pembaca. Penulis ‘mati’ setelah tulisannya terbit. Tetapi, bagaimana mungkin teks itu ‘dikuasai’ oleh pembaca jika isinya begitu sukar dicerna nalar.
Masalahnya adalah kita ‘membicarakan’ hal yang ada hubungannya dengan kehidupan bersama. Itu berarti ada intensi tersirat yang diusung dalam tulisan itu. Artinya, kita tidak menulis untuk diri sendiri, tetapi untuk dikonsumsi oleh publik yang lebih luas.
Mungkin bagi penulis, menghasilkan tulisan yang hanya dimengerti oleh orang tertentu itu, dianggap sebagai sebuah capaian yang istimewa. Setidaknya, kita puas dan bangga karena bisa memproduksi sebuah wacana tulis yang dari sisi gaya bahasa dan kosakata, terlihat begitu mewah. Tetapi, jika ukurannya tingkat pemahaman pembaca, maka tulisan itu, tak masuk nominasi tulisan yang efektif.
Singkatnya, bahasa tulisan di media cetak, media daring dan media sosial harus sederhana, lugas, ringan, dan jenaka sehingga enak dibaca. Memakai kosakata sederhana sama sekali tidak mengurangi mutu sebuah tulisan. Kualitas sebuah tulisan di media, sebenarnya bukan dilihat dari seberapa banyak istilah asing dan teknis yang kita pakai, tetapi seberapa jernih ide, isi atau pesan yang diusung melalui pilihan kata yang pas dan benar.
Kita ingin berbagi ide, gagasan atau perspektif ketika sedang menulis. Karena itu, sedapat mungkin kita membayangkan bahwa apa yang kita tuangkan dalam tulisan itu, bisa dipahami oleh sebagian besar pembaca. Dengan itu, sisi komunikatif dari tulisan itu akan terasa.
Nasib sebuah teks bergantung pada pembaca. Sebuah tulisan opini akan bernasib tragis, jika tidak dilirik oleh pembaca. Sebagai penulis, tentu kita tidak ingin hal itu terjadi. Oleh sebab itu, agar tulisan kita tidak ‘nganggur’, maka salah satu kiatnya adalah gunakan bahasa yang ringan dan relatif diterima oleh semua kalangan.
Tulisan yang berat, alih-alih membawa manfaat, justru bisa menjadi beban bagi pembaca. Mayoritas pembaca tak terlalu akrab dengan teks-teks ilmiah dengan gaya penulisan yang kaku dan ketat baik dari sisi kebahasaan maupun metodologis. Harus diakui bahwa tidak mudah bagi seorang penulis yang sudah terbiasa menggodok tulisan ilmiah, untuk mengubah gaya agar selaras dengan selera pembaca awam.
Rasanya, saya termasuk ‘penulis’ yang susah menyesuaikan gaya bahasa tulis dengan tingkat daya serap pembaca. Ini sebuah tantangan yang kalau dapat saya taklukan melalui latihan yang serius.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.