Oleh : Sil Joni *)
Opini, Okebajo.com, – Ketika pemerintah menganggap rendahnya minat baca masyarakat bukan sebuah problem serius, maka sekolah, khususnya guru menjadi harapan terakhir. Pun manakala kurikulum formal ‘gagal’ membuat siswa ‘gemar membaca’, maka harapan satu-satunya ada di pundak guru. Untuk itu, suka tidak suka, guru mesti ‘ditodong’ agar gemar membaca dan menularkan secara kreatif kebiasaan itu kepada peserta didik.
Guru adalah tokoh idola, role model bagi para siswa. Guru yang gemar membaca bisa dijadikan contoh dalam menekuni semesta membaca itu. Setidaknya, siswa dapa meniru kebiasaan itu ketika sang guru ‘mengajak dan memperkenalkan’ bahan bacaan yang bagus kepada para siswa.
Sebelum kita ‘meminta siswa’ untuk rajin membaca, ada baiknya jika guru terlebih dahulu ‘menodong’ dirinya sendiri untuk memperlihatkan secara konsisten kegiatan membaca itu. Mendorong lewat ‘keteladanan’ jauh lebih efektif ketimbang ratusan kalimat imperatif yang keluar dari mulut guru.
Itu berarti, guru mesti rela merogoh koceknya guna membeli buku-buku bermutu baik fiksi maupun non fiksi. Jika tak punya uang, guru masih bisa membaca buku secara virtual dan meminjam buku di perpustakaan, baik yang ada di sekolah, maupun perpustakaan umum.
Rasanya, fasilitas dan stok buku yang kurang, tidak bisa lagi dijadikan alasan untuk menjustifikasi rendahnya minat baca. Piranti teknologi digital sudah menjalar hingga ke pelosok negeri. Keberadaan teknologi internet tentu saja sangat memudahkan guru dalam mengakses bahan bacaan yang berkualitas.
Selain itu, hampir semua sekolah, terutama yang terletak di kawasan perkotaan memiliki perpustakaan dengan koleksi buku yang relatif banyak. Diharapkan agar guru tidak hanya ‘menjamah buku teks’, tetapi juga mengunyah isi buku-buku ilmiah dan sastra dengan kualitas yang terjaga.
Saya kira, gerakan literasi sekolah (GLS) tidak akan membuahkan hasil, jika para guru tak bergairah dalam membaca buku. Literasi itu berawal dari kebiasaan. Guru mesti membiasakan diri untuk membaca buku. Jika tidak, maka literasi tidak menjadi budaya yang positif dan produktif di sekolah.
Diharapkan agar guru yang membaca, bisa menstimulasi gairah siswa untuk melahap buku yang sama. Jadi, guru ditodong untuk membaca bukan hanya agar wawasan keilmuannya bertambah luas dan dalam, tetapi juga sebagai ‘daya ungkit’ agar siswa tertarik melakukan kebiasaan yang serupa. Dengan perkataan lain, kegemaran membaca bagi guru, mesti berdampak bagi perubahan perilaku peserta didik.
Orang tua, pemerintah dan masyarakat luas, sudah tidak bisa diharapkan untuk membangkitkan spirit membaca dalam diri siswa. Harapan satu–satunya adalah guru. Sangat disayangkan, jika subyek diharapkan menjadi ‘tumpuan akhir’ ini, ternyata tak tertarik dengan dunia baca itu. Lalu, siapa lagi yang bisa diandalkan dalam mendongkrak indeks kultur literasi kita?
Sejatinya, aktivitas membaca bukan hal baru atau asing bagi guru. Sebelum jadi guru, mereka hidup dalam komunitas akademik di mana aktivitas membaca menjadi pekerjaan rutin. Untuk meraih gelar akademik, mereka mesti melahap sekian banyak referensi sesuai bidang ilmu yang digelutinya.
Namun, kebanyakan kita tidak lagi meneruskan kebiasaan membaca buku setelah dapat gelar. Membaca buku seolah ‘tamat’ sebab semua tugas akademik sudah ditunaikan dengan baik.
Artinya, kegiatan membaca itu ‘dituntut’ oleh kondisi tertentu, yaitu meraih titel akademik. Dengan itu, kegiatan membaca tidak pernah menyatu dengan tubuh dan menjadi kebiasaan karena sifatnya sesaat dan intensional. Tunggu ada keperluan baru kita baca buku.
Buku tidak dilihat sebagai kebutuhan rohani yang bersifat primer. Kita tidak peduli dengan nutrisi bermutu yang dibutuhkan oleh jiwa kita. Tegasnya, setelah tamat kuliah, kita jarang bersetubuh dengan buku.
*) Penulis adalah Warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.