Okebajo.com, – Manusia, kata filsuf Hegel merupakan “ein krankes tier (binatang yang sakit)” di mana manusia tidak pernah puas dengan keadaan alamiahnya. Manusia ingin ‘melampaui’ apa yang melekat dalam dirinya. “Sakit tak puas dengan kenyataan’ itu, justru membuat manusia ‘termotivasi’ untuk mengerahkan potensi terbaiknya agar tetap eksis dan tampil lebih baik dari kenyataan sebelumnya.
Ignasius Musa Nai, pemuda lajang nan kreatif dari kampung Rangat, yang dalam ruang publik digital tampil dengan nama “Pak Tani”, tak diragukan lagi, telah ‘mengidap sakit tak menyerah dengan keadaan’ seperti yang disitir oleh sang filsuf idealisme dari Jerman di atas. Tentu, sakit semacam itu, dalam kadar yang berbeda ‘dialami oleh hampir semua manusia normal.
Musa, demikian sapaan akrab beliau, sukses membetot atensi netizens melalui serangkaian inovasi dan kreativitas yang diperlihatkannya dalam kanal media sosial, khususnya facebook dan akun tiktok. Beliau menjadi salah satu ‘konten kreator’ yang telah menjadi trending topic dan viral dalam ruang publik digital di level lokal.
Latar situasi sebagai ‘anak yatim piatu’, tak menghalangi daya jelajahnya untuk membawa berkat kepada sesama melalui narasi yang tersaji di akun media sosial. Sekadar informasi bahwa Musa ‘ditinggal pergi’ oleh ibunya persis ketika sang bayi menghirup udara semesta untuk pertama kalinya.
Bisa dipastikan bahwa Musa tidak pernah merasakan kasih sayang dari ibu kandungnya. Beliau diasuh oleh ayahnya, Hermanus Adi, mama tiri, dan mama kecil. Tidak sampai di situ saja. Sang ayah harus pamit dari dunia ketika Musa berusia tiga tahun. Herman Adi meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas (jatuh dari mobil).
Meski begitu, Musa tak menyerah. Dia tumbu dan berkembang seperti anak yang lainnya. Pendidikan di tingkat Sekolah Dasar (SD) dilalui dengan baik. Sayang, pada tingkat SMP, beliau sering sakit yang membuat dirinya tidak bisa mengikuti ujian akhir.
Tidak tamat, tidak berarti Musa bukan tipe anak cerdas. Tiga tahun di SMP sudah cukup baginya untuk memproduksi dan mendiseminasikan karya kreatif kepada orang lain. Spirit belajar secara mandiri (otodidak) cukup kuat dalam dirinya. Buktinya, kendati tidak dibekali dengan pengetahuan dan kecakapan dalam bidang teknologi digital, dirinya berhasil menjadi ‘pekerja kreatif’ yang menuai decak kagum dari warganet.
Kontennya dikemas secara sederhana tetapi elegan dan bersifat edukatif. Beliau dengan sangat cerdas ‘mengangkat kisah kesehariannya’ sebagai petani dengan menggunakan bahasa daerah aksen Kempo yang kental. Gaya tuturnya cukup lancar dan jernih. Logat Kempo yang khas dipadu dengan seni bercerita, membuat konten Tiktok ‘Pak Tani’, tidak pernah sepi pengunjung.
Hal-hal sederhana seputar ‘lika-liku’ aktivitas sebagai petani menjelma menjadi ‘entitas luar biasa’ ketika dinarasikan secara apik oleh Pak Tani. Beliau tidak merasa minder dan inferior memakai Bahasa Manggarai dialek Kempo. Justru dalam dan melalui penggunaan Bahasa ibu (mother tongue) itu, akun tiktoknya terlihat menarik. Itu sesuatu yang unik dan tentu saja memancing rasa ingin tahu pemirsa.
Musa, seturut namanya (musa nai: obat hati yang luka), benar-benar tampil sebagai ‘pelipur lara’. Keberhasilan yang diraihnya saat ini, seolah menjadi ‘pengobat hati keluarga yang terluka’ akibat kepergian kedua orangtuanya. Tidak salah jika Almarhum Herman Adi memberi nama ‘Musa Nai’ ketika beliau dibaptis menjadi orang Katolik. Kini ‘sang musa nai, obat hati yang terluka’ itu, hadir di tengah keluarga dan kampung Rangat.
Melalui kontennya yang bersifat menghibur, Musa juga sebenarnya tampil ‘mengobati hati netizen yang mungkin sedang galau dan patah hati. Boleh jadi, rasa galau dan hati yang terkoyak, kembali normal setelah menikmati ‘sajian unik’ dari Ignas Musa Nai itu.
Popularitas yang direngkuh Musa, tentu tidak mungkin terjadi tanpa berkecambahnya ‘spirit menerjang keterbatasan’. Beliau, meminjam bahasa filsuf Maurice Marleau-Ponty memiliki unmouvement de transcendance, suatu gerak yang mengatasi dirinya sendiri.
Nama Musa melalui ‘nama digital Pak Tani’, sudah melampaui dirinya sendiri, keluarga dan bahkan lebih besar dari kampung Rangat. Apresiasi dan profisiat untuk pencapaian ini. Teruslah menjadi ‘binatang yang sakit, the creative man, manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang ada’.
Oleh: Sil Joni*
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.
Jangan lupa baca berita menarik dari Oke Bajo di Google News