Hari Pers Nasional : Wartawan di Tengah Keajaiban Alam dan Adat (2)

Avatar photo
Warga Kampung Langgo menyambut rombongan PWMB secara adat, Kamis (8/2/2024). Foto/Robert Perkasa

Labuan Bajo | Okebajo.com | Agenda hari kedua, Jumat, 9 Februari 2024, para wartawan yang tergabung dalam komunitas Perhimpunan Wartawan Manggarai Barat merayakan Hari Pers Nasional ke-78  di kawasan destinasi wisata alam Seribu Air Terjun Desa Wae Lolos, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Wartawan Metro TV Media Indonesia, Chelluz Pahun, wartawan Antara, Gecio Viana, Wartawan TVRI, Alexander Hattol, Wartawan CNN Indonesia, Afri Magung, wartawati RRI, Epy Wahab, wartawan Kompas.com, Nansi Taris, wartawan  Pos Kupang/Tribunflores, Berto Kalu, wartawan Radarflores, Isno, wartawan Kabarlabuanbajo, Ito Umar, Wartawan Kliklabuanbajo, Servan Maksimilianus, wartawan Timor Ekspress, Hans Batona, wartawan  Tajukflores, Alfons Abun. Hadir juga Tim Infokom Manggarai Barat, Ferdi Jemaun, Frument Amas, Yanti Ratung dan Tildis.

Mereka menggelar aksi menanam 1000 anakan pohon bersama ratusan warga Dusun Langgo di sepanjang kawasan destinasi wisata alam, hutan ulayat masyarakat adat setempat.

Setelah sarapan pagi di Kampung Langgo,  rombongan jurnalis menuju Tourist Information Center mengambil ribuan anakan pohon yang hendak ditanam. Selanjutnya berjalan kaki bersama warga menuju lokasi penghijauan yang berada di ufuk timur Kampung Langgo.

Sekira pukul 09.00 Wita tiba di titik start penanaman pohon, yaitu di kiri-kanan bantaran sungai Wae Langgo yang berada di kawasan hutan ulayat masyarakat adat setempat sebagai lokasi destinasi wisata alam Seribu Air Terjun. Penanaman pohon dilakukan mulai dari Air terjun Cunca Plias 1, Cunca Plias 2, Tiwu Galong hingga sekitar kolam di atas awan Cunca Ri’i dengan radius sekira satu kilometer.

Rehat sejenak sambil seruput kopi hangat di sekitar kolam alami, para wartawan saling berbagi cerita dengan warga  tentang  manfaat pelestarian hutan dengan segala ekosistemnya. Juga  cerita  tentang jejak peradaban,  budaya dan adat istiadat masyarakat lokal yang tumbuh-hidup dan diwariskan secara turun temurun.

Desa adalah mata air tradisi

Ketua PWMB, Marsianus Marselus atau yang kerap disapa Chelluz Pahun, menjelaskan kehadiran wartawan  di Desa untuk membawa Desa ke tengah arus perbincangan publik dan memperkokoh posisi Desa dalam ingatan kolektif masyarakat.

Wartawan memberi ruang yang luas bagi warga Desa untuk berbicara, menyuarakan berbagai isu di lingkungan Desa dari sudut pandang Desa.

Chelluz Pahun mengatakan PWMB berkomitmen untuk terus mewartakan Desa agar tak ada yang mengabaikannya. Kampung atau Desa, kata Chelluz Pahun adalah mata air tradisi, adat istiadat yang harus dilestarikan.

“Inilah substansi refleksi PWMB memilih Desa Wae Lolos menjadi lokasi strategis merayakan Hari Pers Nasional ke-78 ini”, ujarnya.

Ketua PWMB, Chelluz Pahun saat memberikan pernyataan Pers kepada para Wartawan di destinasi wisata alam Seribu Air Terjun Wae Lolos, Jumat (9/2/2024). Foto/Robert Perkasa

Desa Wae Lolos, kata Chelluz Pahun, sedang membangun desa wisatanya secara mandiri, mengoptimalkan potensi wisata alam dan wisata budaya yang ada.

“Desa ini sedang tumbuh, membangun secara mandiri desa wisatanya, dengan mengoptimalkan obyek-obyek wisata yang ada, terutama potensi wisata alam dan wisata budaya agar bisa dikelola secara mandiri oleh masyarakat di sini demi kemandirian mereka  secara berkelanjutan”, kata Chelluz Pahun.

Ia juga menegaskan kehadiran PWMB merayakan HPN bersama warga Desa  Wae Lolos merupakan bagian dari kontribusi nyata para wartawan mempopulerkan obyek-obyek wisata di Desa Seribu Air Terjun itu.

“Kami berkomitmen untuk bersinergi hingga sinergi ini akan berdaya ubah. Jadi, dukungan teman-teman Wartawan di sini sangat penting untuk terus mengangkat potensi-potensi yang ada di desa Wae Lolos. Melalui kegiatan penanaman pohon di kawasan ini, para wartaran menggugah kesadaran masyarakat Desa ini untuk terus berupaya menjaga ekosistem yang ada di lokasi ini terus lestari dan terjaga dengan baik”, ungkap Chelluz Pahun.

Historis Cunca Plias dan Liang Langgo

Salah satu spot wisata alam di Desa Wae Lolos, air terjun Cunca Plias memendam kisah historis yang bertalian dengan leluhur orang Langgo. Dahulu kala sebelum ada rumah sakit atau petugas medis, warga Kampung Langgo sangat percaya dukun (mbeko) yang memiliki ilmu sakti/keahlian khusus untuk menyembuhkan orang sakit. Setelah pasien sembuh, dukun bertindak melakukan ritual yang disebut “pilas”.

Plias artinya menyingkirkan/meleburkan/membersihkan tubuh pasien yang telah sembuh. Memandikan pasien dengan air  agar segala penderitaannya hanyut-hilang terbawa air sungai.

Ritual ini tidak sembarang orang melakukannya.  Ritual Plias juga tidak dilakukan di sembarang tempat dan waktu.  Ritual Plias hanya bisa dilakukan di muara sungai yang disebut “Cunga” (titik pertemuan dua alur sungai).

Bahan sesajian yang dibawa Mbeko dalam ritual Plias ini adalah saung kala (daun sirih), ruha mame (telur ayam yang telah direbus) “ruha rato” (telur ayam yang busuk) disertai mantra sang Dukun.

Itu kisahnya sehingga warga setempat memberi nama air terjun itu, Cunca Plias. Air terjun ini membuncah dari sela-sela tebing batu  raksasa setinggi 15 meter. Kolamnya mungil di bawah rimbunan pepohonan. Di sisi kiri-kanan air terjun ini tampak gua batu berlumut hijau.

Selain Cunca Plias, ada juga jejak peradaban leluhur orang Langgo yang terlukis pada sebuah gua batu raksasa yang mereka sebut “Liang Langgo. Gua batu ini berjarak sekitar 4 Km jauhnya dari Kampung Langgo. Sekitar 10 meter dari  gua tersebut terdapat pula dua titik air terjun Cunca Liang Langgo yang letaknya berdekatan. Lokasi ini pun memiliki keunikan serta kisah historical sendiri.

Ketua Pokdarwis Cunca Plias, Robert Perkasa menuturkan bahwa gua Langgo dan kedua air terjun itu memendam  kisah historical leluhur orang Langgo dengan segala peradabannya di masa lalu.

“Jejak-jejak peradaban leluhur kami Langgo masih tersirat di gua batu raksasa tersebut”, ungkap Robert.

Sinopsis kisahnya Robert Perkasa jelaskan, bahwa dahulu leluhur mereka gemar berburu rusa, babi hutan dan hewan lainnya untuk bahan makanan sehari-hari. Selama berburu,  tidur berminggu-minggu di dalam gua batu yang berdiri kokoh di tengah  hutan lebat. Daging rusa, babi hutan hasil buruan diawetkan secara tradisional “cuing” (pengasapan) di dalam gua batu tersebut sebelum mereka kembali ke Kampung Langgo.

Selain itu, pada zaman penjajahan Belanda, liang itu dan beberapa liang lainnya dalam kawasan hutan menjadi tempat yang nyaman untuk mereka bersembunyi. Di dalam gua itu pula mereka menyusun strategi perang melawan penjajah

Selain itu, Liang batu ini juga dijadikan tempat teduhan bagi warga Langgo ketika mereka berada di tengah hutan  mencari kayu untuk bahan bangunan rumah atau mencari obat ramuan tradisional (daun atau akar kayu tertentu). Dua air terjun yang berada dekat gua batu itu juga menjadi tempat pemandian bagi leluhur mereka yang memiliki kesaktian di medan perang sembari bertapa di hutan rimba. Leluhur mereka sering melakukan ritual adat di tempat itu. Namun seiring perkembangan, jejak-jejak masa lalu itu perlahan-lahan sirnah.

Sepintas kilas, lokasi ini angker rasanya. Gua batu ini tampak gelap. Di mulut liang terdapat onggokan batu. Di langit-langit liang itu terlihat hitam pekat bekas asap api.  Luas gua batu ini bisa menampung belasan orang dewasa. Dari jarak pandang puluhan meter, gua tersebut  tampak sayup-sayup lantaran terbalut akar-akar pohon kayu serta tali hutan yang menjuntai hingga ke mulut gua. Di sekitarnya tumbuh semak belukar dan juga pepohonan yang rimbun dan rapat. Mirip seperti benteng pertahanan zaman perang gerilia. *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *