Oleh : Silvester Deniharsidi
Opini, Okebajo.com – Pembangunan memiliki tujuan mulia: menyejahterakan penerima manfaatnya. Namun, sering kali dalam era modern ini, kenyataan di lapangan justru berbanding terbalik. Di berbagai belahan dunia, proyek-proyek pembangunan malah menimbulkan penderitaan bagi masyarakat yang seharusnya diuntungkan. Pertanyaan kritis pun muncul: pembangunan ini sebenarnya untuk siapa? Contoh nyata bisa kita lihat dari dinamika pariwisata di Labuan Bajo, sebuah destinasi wisata yang kini menjadi sorotan.
Labuan Bajo, dengan keindahan alamnya yang memukau, telah bertransformasi menjadi magnet pariwisata internasional. Keindahan Pulau Komodo dan kekayaan bawah lautnya menarik ribuan wisatawan setiap tahun. Bagi banyak orang, pariwisata di Labuan Bajo adalah berkah ekonomi yang nyata. Masyarakat lokal menemukan peluang baru untuk meningkatkan pendapatan mereka, baik melalui perhotelan, restoran, pemandu wisata, maupun berbagai usaha kecil lainnya. Infrastruktur semakin membaik, dan perekonomian lokal pun tumbuh.
Namun, di tengah gemerlapnya pembangunan pariwisata ini, muncul tantangan yang tak terduga. Baru-baru ini, muncul wacana untuk mengembangkan konsep wisata halal di Labuan Bajo. Ide ini, yang bertujuan untuk menarik segmen pasar tertentu, telah menimbulkan penolakan dari masyarakat setempat. Penolakan ini bukan tanpa alasan. Masyarakat lokal merasa bahwa konsep wisata halal tidak sejalan dengan tradisi dan nilai-nilai budaya mereka. Mereka khawatir bahwa penerapan wisata halal akan mengubah wajah Labuan Bajo yang telah mereka kenal dan cintai.
Pertanyaannya, mengapa pembangunan yang dimaksudkan untuk kesejahteraan malah menimbulkan ketidaknyamanan dan penolakan?
Amartya Sen, seorang ekonom dan filsuf terkemuka menawarkan pendekatan berbeda dalam melihat pembangunan. Dalam bukunya “Development as Freedom,” Sen mengusulkan bahwa tujuan pembangunan adalah memperluas kebebasan manusia.
Menurutnya, pembangunan harus dilihat sebagai proses memperluas kapabilitas dan kebebasan individu, bukan sekadar mencapai pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, pembangunan pariwisata di Labuan Bajo harus dievaluasi berdasarkan seberapa besar dampaknya dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebebasan masyarakat lokal.
Tentu wacana wisata halal di Labuan Bajo perlu dikritisi agar kebijakan itu nantinya tidak menempatkan masyarakat local menjadi tidak berdaya, menderita dan akan terpinggirkan. Pada sisi lain, upaya meningkatkan atau mempercepat kemajuan wisata Labuan Bajo yang sudah dilakukan atau pun yang akan dilakukan mendatang tetap sesuatu hal yang harus diapresiasi.
Tulisan ini, hanya suatu pandangan untuk mengkritisi wacana penerapan wisata halal di Labuan Bajo.
Konsep Umum Wisata Halal
Wisata halal adalah kegiatan kunjungan wisata dengan destinasi dan industri pariwisata yang menyiapkan fasilitas produk, pelayanan, dan pengelolaan pariwisata yang memenuhi syari,ah atau yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan Muslim yang ingin menjalani gaya hidup sesuai dengan ajaran agama mereka. Penerapan standar wisata halal mencakup adalah akomodasi, penyediaan makanan dan minuman, spa (sauna dan griya pijat) dan biro perjalanan wisata halal.
Dalam aspek akomodasi, segala fasilitas dan layanan harus memiliki akomodasi sesuai standar syariah. Tersedia fasilitas yang layak untuk bersuci, mudah untuk beribadah, makanan dan minuman halal, suasana yang aman, nyaman dan kondusif untuk keluarga dan bisnis; dan terjaga kebersihan sanitasi dan lingkungan.
Dalam menyediakan makanan dan minuman yang meliputi restoran, bar (kedai), kafe, dan jasa boga, penyedia makanan dan minuman wajib menjamin kehalalan makanan/minuman yang disajikan, mulai dari penyediaan bahan baku sampai proses penyajian yang dibuktikan dengan sertifikat halal.
Setiap pengusaha spa (sauna dan griya pijat) halal menyediakan: ruangan perawatan untuk pria dan wanita yang terpisah, terapi pikiran (mind therapy) dan terapi olah fisik tidak mengarah pada pelanggaran syari’ah; terapis pria khusus untuk pria dan terapis wanita khusus untuk wanita; dan sarana yang memudahkan untuk sholat.
Biro perjalanan wisata halal wajib menyediakan informasi tentang paket pariwisata halal dan perilaku wisatawan (code of conduct) pada destinasi pariwisata halal; dan menyelenggarakan paket perjalanan wisata yang sesuai dengan kriteria pariwisata halal berdasarkan prosedur operasional standar (SOP) yang mengacu pada ketentuan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Setiap pramuwisata pada biro perjalanan pariwisata halal harus memenuhi persyaratan memahami dan mampu melaksanakan nilai-nilai syariah dalam menjalankan tugas, berakhlak baik, komunikatif, ramah, jujur dan bertanggung jawab, berpenampilan sopan sesuai dengan nilai dan etika Islami; dan memberikan nilai-nilai Islami selama dalam perjalanan wisata.
Pelaksanaan wisata halal memang sangat bermanfaat bagi wisatawan Muslim dan bagi penyedia layanan yang mampu mengakomodasi kebutuhan mereka. Namun, untuk memastikan bahwa kebijakan ini diterapkan dengan cara yang adil dan efektif, perlu mempertimbangkan karakteristik dan budaya lokal, serta kesetaraan dalam akses dan peluang ekonomi.
Beberapa daerah sudah menerapkan wisata halal bahkan sudah membuatnya dalam bentuk peraturan daerah (perda). Di Tingkat provinsi yang sudah menerapkannya adalah Provimsi Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Barat. Sedangkan di tingkat kabupaten dan kota adalah Kabupaten Bandung, dan Kota Banjarmasin. Wisata halal yang sudah diatur melalui peraturan daerah menunjukan pemerintah daerah dan masyarakat setempat sudah bersepakat untuk menetapkan daerahnya adalah wisata halal. Namun, daerah lain, yang konteksnya berbeda; baik dari segi budaya dan agama, wisata halal ini tidak dapat diterapkan begitu saja, bahkan mungkin saja tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan.
Kritik terhadap Wacana Wisata Halal di Labuan Bajo
Penolakan wisata halal di Labuan Bajo, bukannya tanpa dasar. Ada tiga aspek yang menjadi dasar penolakan wisata halal diterapkan di Labuan Bajo yaitu aspek budaya lokal, pemerataan pembangunan, dan pembangunan wisata Labuan Bajo pada masa yang akan datang.
Dari aspek budaya lokal, wisata halal itu sangat bertentangan dengan konteks Labuan Bajo. Labuan Bajo adalah rumah bagi masyarakat dengan keragaman budaya yang kaya dan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Wacana wisata halal, yang sering kali diartikan sebagai penyesuaian standar dan praktik yang sesuai dengan hukum Islam, dianggap oleh sebagian masyarakat setempat sebagai ancaman terhadap identitas budaya mereka.
Labuan Bajo hanyalah salah satu tempat yang dihuni oleh segelintir warganya dari seluruh warga kebanyakan yang ada di Manggarai Barat, atau pun dari seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Labuan Bajo tidak dapat dipandang sebagai tempat yang khusus, yang terpisah dari lingkungan sekitar tempat Labuan Bajo itu berada. Dalam kondisi tersebut, Labuan Bajo haruslah tetap dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dengan lingkungan dan warga sekitarnya yang memiliki karakteristik budaya tersendiri yang sudah ada sejak dahulu kala.
Di wilayah Manggarai dan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya adalah masyarakatnya yang sangat majemuk, terdiri dari berbagai suku dan agama. Keberagaman ini memperkaya budaya lokal yang unik dan khas. Salah satu ciri khas budaya masyarakat Manggarai atau NTT pada umumnya adalah hewan peliharaan seperti babi sangat melekat dalam tradisi dan kebudayaan.
Dalam budaya Manggarai, babi tidak hanya sekedar sebagai penghasil daging, tetapi juga sebagai hewan kurban dalam ritus adat. Setiap upacara adat, masyarakat Manggarai seringkali menggunakan babi sebagai bahan untuk menghasilkan daging yang akan disajikan dalam acara tersebut. Bahkan, tanpa ada menu daging babi, menu pada acara tersebut tidaklah lengkap.
Dalam ritus-ritus budaya tertentu seperti kematian, syukuran budaya (penti) babi digunakan sebagai hewan persembahan. Hewan babi sebagai persembahan adalah simbol pengorbanan bagi masyarakat yang melaksanakan upacara adat tersebut. Pengorbanan hewan tersebut mencerminkan komitmen spiritual atau kesetiaan terhadap nilai-nilai kepercayaan yang dijunjung tinggi.
Babi sebagai hewan persembahan juga diyakini memiliki peran sebagai perantara antara dunia manusia dengan dunia gaib atau alam spiritual. Hewan tersebut dipercaya dapat membawa pesan atau mewakili hubungan dengan roh atau dengan nenek moyang. Hewan persembahan digunakan sebagai sarana untuk membersihkan atau memurnikan orang, tempat, atau benda-benda lain yang terlibat dalam upacara tersebut. Hewan tersebut bisa menjadi medium untuk mengusir roh jahat atau membersihkan energi negatif.
Kedua, aspek pemerataan pembangunan. Dalam kemajuan saat ini, daging babi yang sebelumnya hanya dikonsumsi dalam rumah tangga atau sebagai hewan persembahan, mulai dioptimalkan sebagai produk makanan baik dalam bentuk olahan maupun dalam usaha kuliner. NTT terkenal dengan produk makanannya dengan bahan utama daging babi yaitu se,i babi.
Saat ini banyak pula masyarakat yang membuka usaha warung atau pun restoran dengan bahan utama daging babi; sate, sop, dan bakso babi.
Begitu pula di Labuan Bajo saat ini. Masyarakat Manggarai sudah banyak yang membuka usaha warung, yang khusus menyediakan daging babi sebagi menu utama dalam berbagai bentuk; sei babi, sate, sup, rica-rica dan lain-lain. Hal ini tentu sangat baik untuk memberi pendapatan yang nantinya dapat memberi kesejahteraan bagi pelaku usaha tersebut.
Ketika masyarakat Manggarai sudah membuka usaha kuliner daging babi, hal ini tidak hanya membawa keuntungan bagi pelaku usaha kuliner daging babi, tetapi menggerakan seluruh jaringan mulai dari pemelihara babi, penyedia pakan, dan penjual daging babi. Daging babi telah menjadi salah satu rantai pertumbuhan ekonomi yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
Dalam wisata halal, sudah tentu, babi termasuk dalam kategori yang non halal (haram). Dengan demikian, usaha yang menggunakan daging babi sebagai bahan utamanya pun dilarang. Tentu hal ini sangat mengganggu masyarakat Labuan Bajo yang selama ini sudah mendapatkan keuntungan atau menggantungkan hidupnya dari usaha warung (kuliner) yang berbahan babi. Begitu pula masyarakat umum yang hendak menikmati makanan daging babi, akan sulit menemukannya lagi.
Dari kondisi seperti ini, orang berpandangan, wacana wisata halal itu menghambat pemerataan pembangunan.
Wisata halal, dengan segmentasi pasar yang lebih spesifik, berpotensi menguntungkan kelompok tertentu saja. Sementara masyarakat luas mungkin tidak merasakan manfaat yang sama. Pembangunan wisata halal di Labuan Bajo, hanya dirancang untuk masyarakat yang memiliki pandangan halal. Masyarakat yang tidak memiliki pandangan halal tidak boleh terlibat karena itu haram.
Ketiga, masa depan pembangunan wisata Labuan Bajo. Labuan Bajo memiliki potensi besar untuk menjadi destinasi wisata yang mendunia dengan menawarkan keunikan alam dan budaya yang tak tertandingi. Namun, masa depan pembangunan wisata di Labuan Bajo harus direncanakan dengan hati-hati agar tetap berkelanjutan dan menguntungkan bagi masyarakat lokal.
Penolakan terhadap wisata halal juga didasarkan pada kekhawatiran akan dampak jangka panjangnya terhadap citra dan daya tarik wisata Labuan Bajo. Wisata halal mungkin menarik segmen pasar tertentu, tetapi bisa juga mengalienasi segmen lain yang mencari pengalaman otentik dari budaya lokal.
Labuan Bajo telah dikenal sebagai destinasi yang menawarkan keanekaragaman budaya dan kebebasan berekspresi, dan wacana wisata halal mungkin mengurangi daya tarik tersebut di mata wisatawan internasional yang menghargai pluralitas dan kebebasan.
Keempat, proses pengambilan kebijakan. Memutuskan Labuan Bajo sebagai wisata halal, tentu sangat bertolak belakang dengan konteks lokal Labuan Bajo itu sendiri serta Manggarai pada umumnya, termasuk Flores dan NTT secara keseluruhan. Mestinya, para pengambil kebijakan harus melibatkan masyarakat lokal. Mendengar pendapatnya dan memperhatikan karakteristik budayanya.
Para pengambil kebijakan wisata halal berdalil, bahwa wisata halal itu hanya untuk area-area tertentu. Tetap saja hal ini menimbulkan pertentangan. Jika area tertentu yang dijadikan wisata halal itu adalah area pusat dinamika pariwisata, maka dengan adanya kebijakan wisata halal, area pusat itu hanya akan memberi keuntungan bagi orang-orang tertentu saja yang mampu menyediakan layanan sesuai dengan standar wisata halal.
Masyarakat lain, hanya karena non-halal, tidak dapat mengambil bagian untuk mendapatkan keuntungan. Sementara di area yang lain, yang bukan pusat dinamika wisata, masyarakat berebutan mengais rejeki dari wisata yang tersisa. Masyarakat lokal di area non-pusat dinamika wisata hanya mempunyai peluang mengambil bagian dari wisata yang tersisa. Hal ini bisa menciptakan ketidakadilan ekonomi di antara berbagai kelompok masyarakat.
Bagaimana Pariwisata Labuan Bajo?
Melihat konteks Labuan Bajo, dengan masyarakatnya yang multikultural, maka pariwisata Labuan Bajo tetaplah pariwisata yang terbuka untuk semua orang. Inilah yang disebut dengan pariwisata inklusif yaitu pariwisata yang berusaha untuk memastikan bahwa semua orang, terlepas dari latar belakang atau kondisi mereka, dapat menikmati dan mendapatkan manfaat dari pengalaman pariwisata dengan cara yang menghargai keberagaman dan menghormati hak asasi manusia. Hal ini mencakup aspek praktis seperti aksesibilitas fisik dan informasi, serta aspek sosial dan budaya yang mencakup penghargaan terhadap keragaman dan keadilan sosial.
Bagaimanakah wisatawan Muslin dalam wisata inklusif Labuan Bajo?
Wisatawan Muslim merupakan salah satu pasar wisatawan. Untuk mengakomodir wisatawan Muslin, hal ini diserahkan kepada masing-masing pelaku pariwisata untuk memutuskan, mengambil pasar wisatawan yang mana, apakah wisatawan Muslin atau non-Muslim.
Jika pelaku usaha tersebut memutuskan menyediakan wisata halal, maka pelaku usaha itu dengan sendirinya harus menyediakan fasilitas dan layanan yang sesuai dengan standar pariwisata halal. Sedangkan pelaku usaha wisata yang konvensional (non-Muslim) dapat terus memberikan pelayanannya tanpa harus mengikuti standar pariwisata halal.
Pariwisata halal tidak dapat diterapkan di pariwisata Labuan Bajo karena konteksnya sangat berbeda dengan daerah-daerah lain, baik dari segi budaya dan agama. Pariwisata Labuan Bajo haruslah tetap disesuaikan dengan konteks budaya setempat, bukan mengikuti keinginan atau kemauan wisatawan.
Saya memngumpamakan, ketika masyarakat non-Muslim berkunjung ke tempat-tempat wisata seperti di Jawa atau pun negara-negara Timur Tengah, yang mayoritas penduduknya mengikuti agama Islam, tentu wisatawan non-Muslim itu tidak dapat memaksa agar fasilitas dan layanan yang ada di sana harus sesuai dengan keinginannya.
Wisatawan non-Muslim, seberapapun banyaknya dan menjanjikan secara ekomis, tidak dapat memaksa agar masyarakat local tempat wisata itu berada yang pada umumnya adalah Muslim, menyediakan fasilitas dan layanan yang haram menurut masyarakat setempat. Wisatawan non-Muslim, misalnya tidak dapat memaksa menyediakan daging babi atau pun alcohol karena itu haram bagi masyarakat setempat.
Menghormati keyakinan agama dan budaya mereka adalah sikap yang sangat penting. Hal ini berarti Anda tidak boleh meminta atau mengharapkan daging babi disediakan untuk a da selama anda berada di tempat wisata yang mengatakan babi adalah haram. Meminta hal tersebut tidak hanya bisa dianggap tidak pantas, tetapi juga bisa sangat mengganggu perasaan dan keyakinan masyarakat setempat. Begitu pula sebaliknya.
Jika Anda berkunjung ke daerah yang budaya setempat mengatakan babi adalah halal, maka Anda tidak dapat memaksanya, itu adalah haram.
Sebagai tamu, Anda sebaiknya menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan aturan lokal. Hal ini mencakup pilihan makanan yang disediakan, di mana biasanya makanan halal menjadi pilihan utama di negara-negara Timur Tengah. Anda bisa mencari alternatif lain yang tersedia dan tetap menikmati pengalaman kuliner mereka tanpa mengganggu kepercayaan dan kebatinan mereka.
Penting untuk diingat bahwa saling menghormati dan menghargai perbedaan budaya dan agama adalah kunci untuk membangun hubungan yang baik dan berkelanjutan antar masyarakat dari berbagai latar belakang. Pengambil kebijakan, mestinya haruslah memikirkan hal yang sama seperti itu. Ketika pariwisata dipaksakan untuk memenuhi standar-standar tertentu, maka pariwisata itu sudah tidak dapat terbuka, atau dinikmati oleh wisatawan secara umum. Berwisata adalah menikmati keunikan yang ada di dearth tujuan wisata. Dengan demikian, penting untuk menghormati dan menghargai kepercayaan serta budaya masyarakat setempat.
Kembali kepada konsep Amarta Sen yang berpendapat bahwa pembangunan yang sejati harus memperhatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, serta melibatkan mereka dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan. Pembangunan yang top-down dan tidak mempertimbangkan konteks lokal sering kali gagal mencapai tujuannya dan malah menimbulkan penderitaan. Penolakan terhadap wisata halal di Labuan Bajo mencerminkan ketidakpuasan masyarakat yang merasa tidak dilibatkan dan diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.
Pembangunan, termasuk pariwisata, harus berfokus pada kesejahteraan semua pihak yang terlibat, terutama masyarakat lokal. Proses pembangunan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan, yang menghormati nilai-nilai dan tradisi lokal, akan lebih berhasil dalam mencapai tujuan kesejahteraan yang diinginkan.
Penolakan terhadap wisata halal di Labuan Bajo menunjukkan pentingnya dialog yang terbuka dan partisipasi aktif masyarakat dalam setiap tahap pembangunan. Hanya dengan demikian, pembangunan bisa benar-benar menjadi berkah, bukan beban, bagi mereka yang menjadi penerima manfaatnya.
Dengan mengadopsi pandangan Amartya Sen, kita dapat memahami bahwa pembangunan harus difokuskan pada peningkatan kebebasan dan kapabilitas individu, memastikan bahwa setiap proyek benar-benar membawa kesejahteraan bagi semua pihak yang terlibat, terutama masyarakat lokal yang menjadi penerima manfaat utama. **
Penulis adalah Pemerhati Pariwisata tinggal di Labuan Bajo.
Catatan: semua isi tulisan yang dimuat dalam artikel opini ini menjadi tanggungjawab penuh dari penulis.