Fungsionaris Adat Nggorang, Apakah Masih Diakui Masyarakatnya ?

Avatar photo

Oleh : Jon Kadis

Opini, Okebajo.com – Pertanyaan dalam judul ini disebabkan viralnya berita media tentang isu mafia tanah di Labuan Bajo beberapa bulan terakir, dimana peran Fungsionaris Adat/Ulayat Nggorang tak lepas dari sorotan publik, khususnya masyarakat adat Nggorang sendiri. Rasanya hampir semua masyarakat, baik pemerintah, investor maupun masyarakat peduli juga untuk memikirkan hal tersebut, karena dalam mafia tanah, ada korban dan ada pelaku yang diuntungkan. Akibatnya, peran Fungsionaris ulayat dipertanyakan.

Berikut sekedar mengurai benang kusutnya serta informasi fakta dan data yang ditemukan.

Keabsahan Fungsionaris Adat

Fungsionaris adat muncul bukan karena pengangkatan, tapi karena pengakuan masyarakat terhadapnya. Ketika masyarakat suatu wilayah mengakuinya, maka secara diam-diam telah saling mengikatkan diri dalam sistem sosialnya.

Hak individu untuk mengurus persoalan antar sesama diserahkan kepada pemimpin, sebaliknya pemimpin berkewajiban melakukan fungsinya demi kebaikan bersama. Buah pikiran Russou, “teori kontrak sosial“, sesungguhnya berlaku juga di sini.

Fungsionaris adat dalam masyarakat Manggarai

Kata adat dalam “fungsionaris adat” lebih pada fungsinya sebagai gawang yang memelihara tradisi hukum & ritual religius dalam kebersamaan.

Fungsionaris juga sebagai hakim yang memutuskan perkara manakala ada sengketa antar anggota. Tugasnya meluas, bisa juga sebagai pemangku ulayat yang berhak membagi tanah ulayat kepada anggotanya.

Ketua Fungsionaris adat biasa disebut Tua Golo, yaitu pemimpin utama kampung. Jika masyarakatnya berkembang dan butuh lokasi hunian baru, maka fungsionaris adat kampung asal tetap berhak sebagai pemangku ulayat.

Jika permohonan untuk menggarap tanah itu atas inisiatif pemohon, maka ia menghadap Tua Golo dengan cara adat, yaitu “kapu manuk lele tuak” (membawa seekor ayam dan minuman tuak). Tua Golo, sebelum menyatakan persetujuannya kepada pemohon, biasanya ia mengundang tokoh dalam masyarakat itu untuk rapat, apakah lahan yang diminta pemohon masih kosong atau tidak. Jadi, sesungguhnya pada Tua Golo inilah apa yang disebut Fungsionaris Adat & Pemangku ulayat dalam masyarakat adat Manggarai.

Fungsionaris Adat Nggorang

Personnya adalah kelanjutan dari kekuarga dan kerabat dekat ex Kepala Hamente /Kedaluan jaman pemerintahan kolonial Belanda. Tugas utama Kepala Hamente dulu itu adalah kolektor marak (pajak) yang harus disetorkan kepada Pemerintah Kolonial.

Jabatan Kepala Hamente ini bukan karena pemilihan tapi karena penunjukan. Setelah merdeka, keluarga di seputar Kepala Hamente Nggorang diakui sebagai Fungsionaris adat/ulayat, dan Itu berarti ia berhak membagi tanah ulayat di luar area Tua-Tua Golo lainnya di wilayah Nggorang.

Fungsionaris Adat Nggorang berjasa bagi Pemda (Negara)

Bagi Pemerintah, kehadiran dan peran Ishaka dan Haku Mustafa sebagai Fungsionaris adat & pemangku ulayat amat membantu. Ketika Negara membutuhkan lahan untuk Pemda Kabupaten Manggarai (sebelum mekar) maupun sejak Kabaputen Manggarai Barat berdiri, peran Haji Ishaka amat penting.

Tersedianya tanah untuk perkantoran atau tanah Pemda. Kehidupan masyarakat Labuan Bajo aman, karena memang kewibawaan fungsionaris adatnya masih dihormati.

Mulai berhembus angin mafia, yang disebut Mafia Tanah

Adalah seseorang bernama Nikolaus Naput, insinyur pertanian yang dipercayai Bupati Gaspar Ehok (Bupati Manggarai sebelum mekar) untuk mencari lahan di pantai Labuan Bajo untuk rencana pembangunan sekolah perikanan. Atas Persetujuan H.Ishaka, Abubakar Adam Djudje melakukan pengukuran di lokasi.

Entah apa yang terjadi kemudian, lahan untuk pemda itu berujung masalah, hingga munculnya Perkara Tipikor yang berakibat beberapa orang masuk bui.

Mungkin pemilik lahan 40 ha mengklaim bahwa ada tanahnya terletak di lokasi itu (ingat, luasnya 40 ha), tetapi saksi di perkara tipikor itu, Haji Ramang salah satu fungsionaris adat Nggorang mengatakan dibawah sumpah bahwa tidak ada tanah Niko Naput di situ karena sudah dibatalkan tahun 1998. Tapi rupanya si pembeli tidak terima, ia tetap menuntut haknya atas tanah 40 ha.

Kita mundur ke belakang, tahun 1990 dan 1991, Nikolaus Naput meminta tanah ke H. Ishaka dengan “kapu manuk lele tuak“. Sepuluh(ha) untuk Niko Naput, dan 5 ha untuk istrinya Beatrix. Tapi ketika ditata tahun 1998, ternyata tanah tersebut tumpang tindih di atas tanah pemda, oleh karena itu Hj Isahaka membatalkannya. Selain itu, ada 16 ha dibeli oleh Niko Naput dari H. Nasar Sopu, tapi tanah Nassar Sopu 16 ha itupun dibatalkan juga oleh Hj Ishaka karena tanah itu tumpang tindih diatas tanah orang lain.

Jauh sebelum muncul angin mafia tersebut, tahun 1996, Fungsionaris adat beserta anggota masyarakat adat menugaskan Abubakar Djudje sebagai Kuasa Fungsionaris dalam menata tanah-tanah yang sudah diterima warga secara adat. Ada 16 (enam belas) titik nama lokasi tanah di Kelurahan Labuan Bajo dalam kuasa penataannya.

Awal tahun 2013, tepatnya pada 1 Maret, ada rapat Fungsionaris adat beserta tokoh masyarakat adat. Saat itu lahir Pernyataan Fungsionaris Adat yang intinya “semua tanah ulayat Nggorang sudah habis dibagi & diserahkan kepada yang memintanya secara adat “kapu manuk lele tuak“, dan dengan demikian Fungsionaris Adat “tidak ada hak lagi untuk membagi tanah“. Ada dokumennya.

Tapi apa yang terjadi pasca Pernyataan itu ? Masih ada oknum Fungsionaris Adat yang mengeluarkan Surat alas hak & memberi tanah kepada yang memerlukannya, ikut datang ke lokasi saat pengukuran, padahal tanah tersebut sudah dimiliki orang lain sebelumnya.

Kesimpulan

Pertanyaan : Kalau carut marut tanah di Labuan Bajo, itu sebagai apa yang disebut sekelompok orang yang disebut Penjahat mafia tanah yang secara masif mau menghapus peran Fungsionaris Adat Nggorang, maka pembaca dapat menyimpulkan siapa mereka ! Dan siapa pula yang berusaha mengalihkan fakta fatal sekarang ini ke soal lain.

Saya melihat beberapa fakta, bahwa ada petani kecil yang yang tanahnya ditumpang tindih oleh para pihak dalam PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah) Notaris Bily Ginta di Labuan Bajo tahun 2014.

Terbaca jelas juga bahwa tanah yang di PPJB-kan di akta itu, nyata-nyata sudah dibatalkan Fungsionaris Adat Nggorang tahun 1998, dan rupanya, surat alas hak yang sudah mati itu dihidupkan lagi atau sengaja lupa. Tapi surat batal tersebut ada tembusannya yang dikirim ke BPN dan Pemda serta instansi terkait. Hasil dari kesengajaan ini adalah proaktifnya pembeli dalam PPJB 40 ha itu untuk membangun Hotel St Regis di Keranga, justru di atas tanah milik orang lain. Hampir semua tumpang tindih.

Dari berita viral yang beredar, peran menyimpang dari salah satu Fungsionaris Adat Nggorang sebagai sebabnya. Akibatnya, nama seorang Fungsionaris itu dilapor pidana oleh pemilik tanah di Kerangan, HR. Pertanyaan lanjutannya: siapa2 saja yang berkolaborasi dengan Haji Ramang sang Fungsionaris Adat Nggorang? Ketika ada Laporan pidana dari masyarakat korban, sangat diharapkan Penyelidik (Polisi) dan Penyidik (Kejaksaan) merespond cepat agar tercipta aman dan damai di kawasan super ini.

Penutup

Menjawab pertanyaan judul tulisan ini, adalah “Ya”. Masyarakat adat Nggorang tetap mengakui keberadaan Fungsionaris Adat Nggorang sampai hari ini. Jika ada fungsionaris adat yang melanggar kesepakatan bersama, harus ditindak tegas, dan person funsionaris adat di Nggorang harus ditinjau kembali dalam rapat seluruh Tua Golo dan Tokoh adat Nggorang.

Wassalam !!!

Catatan Redaksi : Semua isi dalam artikel ini menjadi tanggungjawab penuh dari penulis.

Penulis adalah Advokat dan Anggota Asosiasi Masyarakat Adat Manggarai (AMANG) berdomisili di Labuan Bajo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *