Strategi Mario-Richard Mengawal Proyek Nasional di Labuan Bajo Tanpa Mengorbankan Hak Masyarakat Adat

Avatar photo
Strategi Mario-Richard Mengawal Proyek Nasional di Labuan Bajo Tanpa Mengorbankan Hak Masyarakat Adat
Paslon bupati dan wakil bupati Manggarai Barat Christo Mario Y Pranda-Richard Tata Sontani (Mario-Richard), Rabu (16/10/2024).

Labuan Bajo, Ojebajo.com – Dalam debat pasangan calon bupati dan wakil bupati Manggarai Barat, isu konflik agraria menjadi salah satu fokus utama. Desi Natali, moderator debat, mengajukan pertanyaan tajam kepada pasangan calon nomor 01, Mario Pranda dan Richard Sontani (Mario-Richard), tentang bagaimana mereka akan mengatasi konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat di tengah gencarnya pembangunan Proyek Strategis Nasional di Labuan Bajo.

Berdasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2023, NTT termasuk dalam 10 besar wilayah dengan konflik agraria terbesar di Indonesia, di mana konflik ini didominasi oleh ketegangan antara masyarakat adat dan pemerintah daerah.

“Bagaimana strategi paslon agar proyek-proyek strategis nasional di Labuan Bajo tetap berjalan tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat adat atas hak ulayat dan ruang penghidupan mereka, seperti yang terjadi di Wae Sano dan Pulau Komodo?” Tanya moderator

Buku Putih” untuk Masyarakat Adat

Menanggapi pertanyaan ini, Richard Sontani menyampaikan bahwa mereka memiliki rencana strategis yang akan dituangkan dalam sebuah dokumen komprehensif yang disebut “Buku Putih“.

Buku ini, kata Richard, akan menjadi platform bagi masyarakat adat untuk merumuskan solusi yang melibatkan kearifan lokal, termasuk institusi adat tradisional yang dikenal sebagai kedaluan.

“Kami akan mengembalikan peran kedaluan ini, yang sekarang berada di bawah administrasi kecamatan, sebagai bagian dari dokumen adat terkait penyelesaian masalah tanah dan kepemilikan lahan. Buku Putih ini akan menjadi panduan utama dalam menangani konflik pertanahan di Manggarai Barat,” ujar Richard.

Richard juga menjelaskan pentingnya fungsi musyawarah bersama di tingkat ulayat untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang sah.

“Dokumen ini nantinya akan dilampirkan sebagai bagian dari peraturan daerah, sehingga dapat dijadikan rujukan jika konflik tanah muncul di kemudian hari,” tambahnya.

Sebagai upaya konkret, Richard menekankan bahwa mereka akan bekerja sama dengan perguruan tinggi ternama seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk melakukan kajian dan menyusun dokumen yang mewadahi 14 kedaluan yang tersebar di Manggarai Barat.

Pembentukan Satgas Penyelesaian Konflik

Sementara itu, Mario Pranda menjelaskan pendekatan lain yang akan mereka ambil, yaitu pembentukan satuan tugas (Satgas) untuk mempercepat penyelesaian konflik tanah. Fokus utama satgas ini adalah penyelesaian masalah sertifikasi tanah, terutama bagi masyarakat di wilayah-wilayah yang terdampak langsung oleh status tanah yang masih bermasalah, seperti tanah HPL di empat desa di Kecamatan Komodo.

“Kami akan mendorong pemerintah daerah untuk berpihak kepada masyarakat rentan, terutama mereka yang terancam oleh penggusuran dan relokasi, seperti yang terjadi di Pulau Komodo,” tegas Mario.

Perjuangan Adat dan Pembangunan Terpadu

Pasangan Mario-Richard menekankan bahwa solusi terhadap konflik agraria tidak hanya terletak pada regulasi formal, tetapi juga pada pengakuan hak adat dan penyelesaian masalah melalui pendekatan musyawarah bersama. Strategi yang mereka tawarkan, mulai dari penerbitan Buku Putih hingga pembentukan Satgas, menunjukkan komitmen mereka dalam memastikan bahwa pembangunan besar-besaran di Labuan Bajo dapat berjalan beriringan dengan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Debat ini menampilkan panelis dari universitas terkemuka, termasuk Bill Nope dari Fakultas Hukum Universitas Cendana, Andi Irfan dari Universitas Muhammadiyah Kupang, dan Yonathan Hans Luter Lopo dari Fakultas Hukum Universitas Cendana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *