Oleh : Yohanes Sehandi
Opini, Okebajo.com – Saya menggunakan kaca mata selama 45 tahun, karena kedua mata minus, penglihatan kabur. Saya pakai kaca mata sejak awal tahun 1980 pada waktu mulai kuliah di Semarang sampai dengan tengah Februari 2025 ini.
Mengapa lama sekali pakai kaca mata? Karena kedua mata saya minus, makin lama makin bertambah minusnya. Penglihatan kabur. Harus dibantu dengan kaca mata.
Awal tahun 1980 kedua mata saya sudah minus 2. Penglihatan kabur. Setelah pakai kaca mata penglihatan bisa menjadi terang.
Karena penggunaan kedua mata saya sangat tinggi karena gemar membaca, minus kedua mata saya terus bertambah dari tahun ke tahun.
Sekitar 20 tahun (1980-2000) intensitas penggunaan mata saya sangat tinggi untuk membaca dan menulis. Selama kurun waktu itu adalah masa-masa sangat produktif saya di bidang tulis-menulis.
Era 1980-2000 adalah era keemasan media massa cetak di Indonesia, seperti surat kabar harian, mingguan, dua mingguan, dan bulanan. Honor menulis di media massa cetak pada era itu menggiurkan.
Berkat menulis di media massa, semua kebutuhan uang kuliah, sewa kos, dan makan minum setiap hari waktu itu dari hasil menulis di media massa cetak.
Setelah selesai kuliah, honorarium tulisan di media terus berdatangan. Honor-honor itu saya gunakan untuk membeli buku baru. Lebih dari seribu judul buku baru saya beli dari hasil menulis.
Resiko dari gemar membaca dan menulis ada pada mata. Minus kedua mata saya terus bertambah dari tahun ke tahun. Hampir setiap tahun ganti kaca mata.
Meskipun pakai kaca mata, tetapi karena minus tinggi, penglihatan kedua mata terus menurun dan semakin kabur. Saya sudah merasa terganggu dengan kegemaran saya membaca dan menulis. Apa lagi saya masuk kampus tahun 2010 sebagai dosen di Universitas Flores. Tuntutan membaca dan menulis tinggi. Yang tanggung resiko adalah kedua mata saya. Begitulah.
Puncak kekaburan kedua mata saya terasa pada awal tahun 2023, dua tahun lalu. Kalau lepas kaca mata saya tidak bisa lihat orang. Pada waktu itu saya sudah merasa bahwa kedua mata saya sudah menjadi beban hidup saya untuk selanjutnya.
Pada awal 2023 itu, Dokter Spesialis Mata, yakni dr. Baltasar Bimo Bisara, Sp.M, yang memeriksa mata saya, menemukan, minus kedua mata saya sangat tinggi. Mata kiri minus 10, mata kanan minus 7,5. Dokter juga menemukan ada indikasi keretakan kecil pada retina pada mata saya.
Bagaimana solusinya, Dok? Tanya saya. Bapak harus kurangi aktivitas membaca. Tidak ada solusi lain. Sejak awal 2023 itulah kinerja saya di bidang tulis-menulis menurun drastis. Sekitar 30-an judul buku baru yang saya beli dan dikirim oleh teman-teman penulis, belum bisa saya baca.
Pada bulan Oktober 2024 saya periksa lagi ke dr. Bimo di Klinik Mata dr. Johanes Don Bosco Do, di Jln. Banteng, Ende. Siapa tahu minus kedua mata menurun.
Dokter Bimo menemukan, di samping kedua mata saya minusnya tidak berkurang, kedua mata saya terkena katarak. Ini temuan baru. Tambah beban lagi.
Mata kiri Bapak sudah tertutup katarak 100 %, kata dr. Bimo. Sedangkan mata kanan, sudah tertutup katarak 35 %, sisanya 65 % yang bisa Bapak gunakan untuk melihat. Saat itu saya merasa sedih, sekaligus beban.
Satu-satunya solusi adalah operasi mata, kata dr. Bimo yang adalah anak kedua dr. Don Bosco Do. Karena Oktober dan November waktu itu masih padat kuliah semester ganjil di Uniflor, maka operasi mata kiri dilakukan pada waktu liburan, yakni pada 17 Desember 2024. Pada waktu perban mata dilepas awal Januari 2025, mata kiri saya terang benderang. Wou, senangnya luar biasa.
Pada 23 Januari 2025 dilanjutkan operasi mata kanan. Pada awal Februari 2025 perban mata dilepas. Mata kanan saya juga terang benderang. Duh, Tuhan. Senangnya luar biasa. Terasa seperti kelahiran baru, setelah 45 tahun menanggung beban karena mata minus.
Pada tanggal 15 Februari 2025, dua hari lalu, saya mengikuti pemeriksaan final kedua mata saya. Hasil pemeriksaan menunjukkan, mata kiri minus dari 10 turun menjadi 0,75. Mata kanan, dari minus 7,5 menjadi plus 2. Ada beda antara kedua mata. Kedua mata saya tetang benderang. Syukur pada Tuhan.
Menurut dr. Bimo, kedua mata saya sudah aman. Penglihatan sudah stabil. Tidak perlu pakai kaca mata, tidak apa-apa. Tidak masalah. Kata dr. Bimo dengan ramah. Memang dia tidak banyak omong. Beda dengan Bapanya, dr. Don Bosco, banyak omong dan menarik. Maklum, di samping sebagai dokter, juga sebagai politisi.
Saya merasa sungguh besar berkat Tuhan lewat penglihatan saya yang sudah normal ini. Ini hadiah besar Tuhan untuk saya pada usia 65 tahun pada 2025 ini. Lewat tangan dr. Baltasar Bimo Bisara, Sp.M. Terima kasih banyak dr. Bimo. Semoga Tuhan memberkatimu.
Siapakah dr. Bimo yang operasi mata saya? Dia adalah anak kedua dari dr. Johanes Don Bosco Do, M.Kes., Bupati Nagekeo periode 2019-2024 yang punyai klinik mata ini.
Keluarga dr. Johanes Don Bosco Do ini boleh dikatakan Keluarga Dinasti Kedokteran. Dr. Don Bosco Do adalah Dokter Umum. Istrinya Dokter Spesialis Mata, yakni dr. Yayik Pawitra Gati, Sp. M. Anak ketiga adalah Dokter Hewan, yakni drh. Donata Asta Netumisa, M.Si. bekerja di Surabaya. Anak pertama Dionisius Laksmana Bisara adalah seorang jurnalis media besar di Jakarta. Menurut saya, keluarga dr. Don Bosco ini adalah keluarga terberkati.
Keluarga dr. Don Bosco Do inilah yang mendirikan Klinik Johanes Don Bosco Do di Jln. Banteng, Ende. Ini satu-satunya klinik mata swasta di daratan Flores dan Lembata.
Klinik ini sangat besar dan megah. Bersih. Pelayanan bagus. Pasien banyak. Buka pagi dan sore. Sudah kerja sama dengan BPJS. Jadi, aman bagi pasien dari kalangan manapun. *
Ende, 17 Februari 2025