Labuan Bajo, Okebajo.com – Nama Erwin Kadiman Santosa selama ini kerap dikaitkan sebagai “pengusaha besar” dan pemilik lahan tempat Hotel St. Regis akan dibangun di Labuan Bajo. Namun, fakta mencengangkan mulai terkuak. Berdasarkan informasi yang diperoleh keluarga ahli waris Ibrahim Hanta dari seorang pengusaha properti ternama di Jakarta yang enggan disebutkan identitasnya.
“Kami mendapat informasi dari sumber terpercaya ternyata Erwin Kadiman bukanlah pemilik hotel St. Regist ersebut. Ia diduga kuat hanyalah seorang broker atau makelar tanah, yang bertugas menghubungkan investor dengan lahan sengketa yang status hukumnya masih bermasalah,” jelas Muhamad Rudini, ahli waris alm. Ibrahim Hanta melalui pers rilis yang diterima media ini pada Sabtu, (31/5/2025).
Ia menuturkan bahwa Informasi tersebut memperkuat dugaan keluarga Alm. Ibrahim Hanta bahwa kehadiran Erwin Kadiman Santoso di Labuan Bajo bukan dalam kapasitas sebagai pemilik lahan yang sah, melainkan sebagai perantara bisnis yang menggunakan berbagai cara untuk mengklaim lahan milik warga, termasuk tanah warisan 11 hektare milik keluarga Ibrahim Hanta. Kebenaran ini perlahan terbongkar melalui proses hukum dan investigasi mendalam oleh ahli waris, tim penasihat hukum, serta Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI.
“Modus dugaan permainan ini bermula dari transaksi jual beli tanah seluas 40 hektare yang dilakukan Erwin Kadiman Santoso dengan Nikolaus Naput pada Januari 2014. Transaksi ini dituangkan dalam sebuah Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat di hadapan notaris Billy Ginta di Labuan Bajo. Namun, PPJB tersebut belakangan terbukti cacat hukum dan administratif,” ungkap Rudini.
Di atas kertas, tanah itu disebut milik Niko Naput, padahal sebagian besar lahan yang dimaksud berada di atas tanah milik sah keluarga almarhum Ibrahim Hanta yang diperoleh secara adat sejak tahun 1973 dengan prosesi spiritual sakral “kapu manuk lele tuak” yang dilakukan oleh para fungsionaris adat Nggorang.
“Anehnya, transaksi dilakukan tanpa dasar kepemilikan sah dan tanpa batas koordinat yang jelas. Hanya bermodal peta dari Google Maps,” ungkap Muhamad Rudini
Tanah seluas itu, lanjut Rudini, diukur sepihak oleh staf Erwin Kadiman Santoso yang datang dari Jakarta, menggunakan aplikasi Google Maps, dan didampingi oleh John Don Bosco seseorang yang bukan turunan asli masyarakat adat Nggorang yang mengaku sebagai sekretaris pribadi Haji Ramang, putra dari almarhum Ketua Fungsionaris Adat Nggorang.
Lebih janggal lagi kata Rudini, pada tahun 2017, dari keseluruhan lahan 40 hektare tersebut, terbit dua Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama anak-anak Nikolaus Naput untuk lahan seluas lebih dari 5 hektare. Padahal, tanah seluas 11 hektare yang menjadi bagian dari itu tidak pernah dijual oleh pemilik sahnya, yaitu keluarga Ibrahim Hanta, kepada siapapun.
Yang lebih mencurigakan, Kepala Kantor BPN Manggarai Barat saat itu, Gatot Suyanto, yang baru menjabat 6 bulan sejak awal 2023, mengubah salah satu SHM milik anak Niko Naput menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas permintaan Ika Yunita, yang disebut sebagai rekan Erwin Kadiman Santoso dari Jakarta.
“Di sinilah mulai tercium aroma praktik mafia tanah yang terstruktur,” ujar Rudini.
Ia menambahkan bahwa dari total 40 hektare tersebut, tidak hanya tanah keluarga Ibrahim Hanta yang masuk klaim, tetapi juga tanah milik Pemda Manggarai Barat serta 3,1 hektare tanah milik tujuh warga asli Labuan Bajo.
Akta PPJB cacat inilah yang kemudian dijadikan dasar penerbitan lima SHM atas nama anak-anak Naput, dua di antaranya berdiri di atas lahan warisan keluarga Hanta.
Modus Makelar: DP, Sertifikat, Jual ke Investor
Dr(c) Indra Triantoro, SH,MH, salah satu anggota tim PH (Penasihat Hukum) ahli waris alm. Ibrahim Hanta menjelaskan bahwa modus yang digunakan Erwin tak rumit: beri uang muka ke orang yang mengaku punya tanah, urus sertifikat lewat celah administrasi, lalu jual mahal ke investor besar.
“Masalahnya, mereka salah target. Kami bukan rakyat yang bisa dibeli atau diintimidasi,” kata Indra.
Pada Januari 2024, keluarga Hanta menggugat ke PN Labuan Bajo dan melapor ke Satgas Mafia Tanah Kejagung RI. Dalam gugatan mereka, dinyatakan bahwa lahan 11 ha diperoleh secara adat sejak 1973 melalui ritual kapu manuk lele tuak dari para fungsionaris adat Nggorang. Klaim Erwin dan Naput disebut tidak berdasar, bahkan dilakukan tanpa pelibatan masyarakat adat yang sah.
“Inti pokok gugatan kami adalah tanah warisan 11 ha yang diperoleh kakek kami sejak 1973, yang sedang dikuasai dan dikelola, tiba-tiba seorang yang berasal dari Jakarta, Erwin Kadiman Santoso bersama dengan Ika Yunita, bekerjasama dengan seorang dari kota Ruteng jauh di luar masyarakat ulayat ini, Nikolaus Naput, mengklaim tanah 11 ha milik kami ini adalah bagian di dalam 40 ha itu. Klaim tersebut diduga bekerjasama dengan oknum BPN dan oknum turunan almarhum Ketua Fungsionaris ulayat”, beber Indra.
Indra menjelaskan bahwa BPN Mabar pun terkecoh dengan akta PPJB 40 hektar dari Notaris Billy Ginta. Menurutnya, cara-cara ini sering digunakan di Jakarta, Bandung, Medan. Biasanya para mafia tanah memberikan sekedar uang muka (DP), sehingga para pemilik tanah diikat di akta notaris.
“Tetapi di perkara tanah 40 ha di Keranga Labuan bajo ini, Erwin Kadiman Santoso berhadapan dengan warga dan tokoh masyarakat Labuan Bajo yang pantang mundur, walaupun diancam diteror. Seperti Abraham Hanta, salah satu putra IH semasa hidupnya, ia didatangi subuh di rumahnya, sebagaimana diceritakan oleh klien kami”, ungkap Indra.
Temuan Kejaksaan Agung dan Kemenangan di Pengadilan
Pada 23 Agustus 2024, Satgas Mafia Tanah Kejagung mengeluarkan hasil investigasi yang menguatkan posisi keluarga Hanta: dua SHM anak Naput dinyatakan cacat yuridis, administratif, tanpa alas hak asli, salah lokasi, dan terdapat indikasi perbuatan melawan hukum. Kejagung juga menyurati BPN Manggarai Barat untuk segera meninjau ulang penerbitan SHM-SHM tersebut, serta kepada ahli waris Ibrahim Hanta diberitahukan haknya untuk ajukan gugatan perdata, pidana atau upaya hukum lainnya. Selain itu kepada Bupati Manggarai Barat diminta untuk meninjau ulang izin pembangunan Hotel St. Regis, dan hasil tinjauannya segera dilaporkan kepada Kejagung.
Akhirnya, pada 23 Oktober 2024, Pengadilan Negeri Labuan Bajo memenangkan ahli waris Hanta, menyatakan mereka pemilik sah tanah 11 hektare, dan membatalkan seluruh klaim serta akta PPJB 40 hektare milik Kadiman-Naput.
“Proses ini adalah bentuk perlawanan terhadap mafia tanah. Mereka terbiasa main di Jakarta, Bandung, Medan. Tapi di Labuan Bajo, mereka bertemu masyarakat yang siap mati mempertahankan tanah leluhur,” kata Indra Triantoro.
Namun perjuangan belum selesai. Pihak Kadiman dan anak-anak Naput mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kupang dengan alasan mereka bahwa PN tidak berwenang dan tidak cermat menilai bukti. Tapi pada 18 Maret 2025, PT Kupang kembali menegaskan kemenangan ahli waris Hanta. Bahkan bukti tambahan berupa laporan investigasi Kejagung turut dipertimbangkan hakim.
“Sebelum putusan banding itu, 3 Februari 2025, didahului dengan sidang tambahan untuk mendengar keterangan saksi ahli di pihak Pembanding. Namun keterangan saksi ahli ini tidak dapat dipertimbangkan oleh hakim PT Kupang, karena tidak ilmiah,” ungkap Indra.
Meski telah kalah dua kali, pihak Erwin, Ika Yunita, dan keluarga Naput masih bersikeras kasasi ke MA sejak 15 Mei 2025. Dalam memori kasasi, mereka menyebut PN dan PT tak berwenang memutus, dan perkara seharusnya diadili di PTUN. Klaim ini dipandang sebagai upaya mengaburkan substansi, serta meremehkan lembaga negara seperti Kejagung RI.
“Secara hukum, mestinya ini sudah final. Tapi kenapa masih lanjut? Adakah faktor X yang bermain?” tanya Irjen Pol (Purn) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si., ketua tim penasihat hukum keluarga Ibrahim Hanta.
Faktor X yang dimaksud, lanjutnya, adalah dugaan kejahatan mafia tanah yang melibatkan pengusaha, oknum BPN, dan fungsionaris lokal.
“Mereka menutup mata atas temuan Kejagung, lembaga tinggi negara yang justru sudah sangat jelas menyatakan SHM itu cacat dan tanpa alas hak.” kata I Wayan.
Bukan Hanya 11 Hektare, Tapi 3,1 Ha Milik Warga Juga Diklaim!
Selain 11 ha milik keluarga IH, tujuh warga lain dengan total tanah 3,1 ha juga menjadi korban klaim sepihak. Mereka mengaku lahannya digusur oleh ekskavator, dipagari, dan dipasangi spanduk “tanah ini milik anak Niko Naput”. Para korban sudah bersiap melakukan perlawanan.
“Kami sudah sabar lebih dari 10 tahun. Tapi jika tanah kami terus diganggu, kami akan pertahankan sampai titik darah terakhir,” kata Lambertus Paji, mewakili pemilik lahan 3,1 ha.
Fakta baru yang mengejutkan, menurut kuasa hukum ahli waris, Erwin bukanlah pemilik Hotel St. Regis, tapi hanya perantara yang menjual tanah kepada investor hotel itu. Nama besar “St. Regis” yang berarti suci dan bangsawan, seharusnya sejalan dengan nilai moral dan hukum.
“Kasihan pemilik Hotel St. Regis, mereka jadi korban makelar tanah. Kalau ingin investasi berjalan baik, lebih baik mereka langsung bicara dengan pemilik tanah asli, bukan broker yang main tipu,” ujar Jon Kadis, SH.
Jon pun menambahkan, investor lain seperti hotel Ayana, Katamaran, Plataran, JW Marriott, hingga Meruorah bisa melenggang tanpa masalah karena mematuhi hukum dan menghormati hak rakyat.