Sengketa Jual Beli Tanah di Labuan Bajo: 14 Dokumen Sah, Tapi Penjual Gugat di PN untuk Batalkan PPJB dengan Alasan “Sempadan Pantai”!

Avatar photo
Sengketa Jual Beli Tanah di Labuan Bajo: 14 Dokumen Sah, Tapi Penjual Batalkan PPJB dengan Alasan “Sempadan Pantai”!
Obyek sengketa jual beli tanah antara Lie Sian dan Muhamad Saing Makasau yang terletak di Desa Gorontalo, Kec. Komodo, Kab. manggarai Barat, NTT. Foto. Isth

Labuan Bajo, Okebajo.com – Jon Kadis, SH, kuasa hukum Lie Sian mengungkap skandal baru dugaan mafia tanah yang terjadi di Labuan Bajo. Kali ini, melibatkan transaksi tanah yang terletak di Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT yang diduga disabotase dari dalam oleh si pemilik sendiri. Lebih mengejutkan, meski kesepakatan jual beli telah diikat dengan 14 dokumen alas hak sah, penjual tiba-tiba membatalkan transaksi sepihak—dengan alasan : tanah tersebut masuk kawasan sempadan pantai.

Kisah bermula pada 13 Februari 2025, saat Muhamad Saing Makasau, pemilik sebidang tanah warisan seluas 1.500 m² di pinggir pantai, antara Hotel Atlantis dan Jayakarta, menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan pengusaha kuliner bernama Lie Sian. Uang muka dibayar, dan pelunasan dijanjikan setelah sertifikat hak milik (SHM) diterbitkan. Sesuai perjanjian, pengurusan sertifikat menjadi tanggungjawab kedua belah pihak, dengan beban biayanya ditanggung oleh Muhamad Saing. Kesepakatan itu tercantum pada pasal 5 akta PPJB. Namun kisah manis ini berubah menjadi mimpi buruk.

14 Dokumen Sah: Bukti Kuat Tanah Milik Pribadi, Bukan Kawasan Publik

Sebelum menandatangani PPJB, Lie Sian meneliti keabsahan dokumen tanah. Hasilnya? 14 dokumen legal lengkap, termasuk:

  1. SPPT PBB ( pajak bumi bangunan) atas tanah tersebut an.Muhamad Saing Makasau.
  2. Surat keterangan riwayat kepemilikan hak atas tanah dari Pemerintah Desa Gorontalo (dibuat oleh Kepala Desa) Nomor : PEM.593.2/364/XII/2023 tertanggal 30 November 2023, dimana Kepala Desa menerangkan kepemilikan tanah Muhamad Saing Makasau tersebut yaitu tidak terdapat kepentingan orang lain dan tidak direncanakan untuk kepentingan umum. Dengan kata lain bukan sebagai area untuk publik atau misalnya “tidak sebagai area sempadan pantai“.
  3. Surat pernyataan penanaman tanda batas tanah yang dibuat dan ditandatangi oleh Muhamad Saing Makasau dan mengetahui Kepala Desa Gorontalo, tertanggal 30 November 2023. Batas utaranya : Jalan Setapak (Trotoar Rabat), batas sempadan.
  4. Surat keterangan tanah tidak dalam kawasan hutan dari Pemerintah Desa Gorontalo Nomor : PEM.593.2/370/XII/2023 tanggal 18-12-2023.
  5. Surat pernyataan tanah tidak sedang dalam sengketa yang dibuat dan ditandatangi oleh Muhamad Saing Makasau dan mengetahui Kepala Desa Gorontalo, tanggal 30 November 2023.
  6. Surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah (Sporadik), yang dibuat oleh Muhamad Saing Makasau dan mengetahui Kepala Desa Gorontalo tanggal 30 November 2023.
  7. Surat keterangan riwayat pemilikan hak atas tanah Nomor : PEM. 593.2/365/XII/2023 yang dibuat oleh Kepala Desa Gorontalo tanggal 18-12-2023.
  8. Surat pernyataan pemasangan tanda batas dan persetujuan pemilik yang berbatasan, disertai kolom gambar sketsa bidang, yang dibuat oleh Muhamad Saing Makasau dan mengetahui Kepala Desa Gorontalo, tanggal 18-12-2023.
  9. Surat keterangan pemeriksaan obyek lokasi, Nomor : PEM.593.2/369/XII/2023 tanggal 18-12-2023 dari Kepala Desa Gorontalo.
  10. Surat pernyataan penguasaan fisik bidang Tanah tanggal 18-12-2023 yang dibuat oleh Muhamad Saing Makasau, ditandatangani para saksi dan ‘mengetahui’ Kepala Desa Desa Gorontalo, Vinsensius Obin. Dalam surat ini dimuat : Bidang tanah tersebut adalah hak milik, bukan milik orang lain dan statusnya adalah tanah warisan dan juga bukan aset Pemerintah.
  11. Berita acara pemeriksaan tanah dan pernyataan tua kampung / tua golo /tokoh masyarakat tanggal 12 Agustus 2023, mengetahui Kepala Desa Gorontalo. Menerangkan : tanah Muhamad Saing Makasau tersebut didapat berdasarkan warisan orangtuanya bernama Makasau, yang memperoleh tanah tersebut berdasarkan pembagian tanah adat 1982. Tanah itu sebagai pekarangan, diakui oleh pihak yang berbatasan, tidak ada sangkut paut atau sengketa dengan pihak lain.
  12. Surat pernyataan warisan tanggal 08-12-2023, bahwa tanah tersebut diserahkan oleh para ahli waris alm.Makasau kepada sesama ahli waris yaitu Muhamad Saing Makasau, turut “mengetahui’ Kepala Desa Gorontalo Regist No.593.2/363/XII/2023, dan Camat Komodo ‘mengetahui’ dengan Regist Nomor: PEM.593/1134/XII/2023.
  13. Surat keterangan waris, tanggal 09-12-2023, turut mengetahui Kepala Desa Gorontalo dan Camat Komodo.
  14. Surat keterangan pengukuhan penyerahan tanah adat tanggal 09-12-2023 dari Tu’a Adat / Tu’a Golo Gorontalo, turut mengetahui, Kepala Desa Gorontalo.

Baca Juga : Sengketa Jual Beli Tanah di Desa Gorontalo, Labuan Bajo, Tergugat: Tak Ada Bukti Tanda Terima Berkas ke BPN

Setelah Dibersihkan dan Dipagari, Tanah Dinyatakan “Sempadan”

Hanya beberapa bulan setelah PPJB diteken, dan ketika Lie Sian sudah menebas semak, membangun pondok, dan memagari tanah, tiba-tiba Saing berubah sikap.

Alasannya mengejutkan: tanahnya ditolak tiga kali oleh BPN karena disebut berada di kawasan sempadan pantai. Bahkan, BPN mengeluarkan surat klarifikasi pada Oktober 2024 yang menyatakan tanah itu tak bisa disertifikatkan.

Saing pun membuat surat pembatalan sepihak atas PPJB, dan bahkan menggugat pembeli ke Pengadilan Negeri Labuan Bajo, meminta pembatalan perjanjian karena tanah dianggap milik negara.

Lie Sian: “Saya Merasa Dijebak dan Ditipu!”

“Saya kaget, merasa dijebak. Dia dulu berkali-kali datang menawarkan tanahnya ke rumah saya. Setelah kami tebas, pagar, dan bangun pondok, dia tiba-tiba berubah,” tutur Lie Sian.

Lebih parah lagi, saat Lie Sian meminta dokumen asli agar bisa mengurus SHM ke BPN, dokumen yang diserahkan tidak lengkap. Beberapa hari kemudian, dokumen yang sudah diserahkan malah diambil kembali oleh Saing.

“Saya minta bukti tanda terima dari BPN atas tiga kali pengajuan itu, tapi tak pernah ditunjukkan. Jangan-jangan memang tidak pernah ada pengajuan itu,” tambahnya.

Jon Kadis, SH, kuasa hukum Lie Sian, menyebut gugatan Saing cacat logika dan hukum.

“Penggugat hanya serahkan surat klarifikasi BPN dan akta PPJB. Tidak ada satu pun dari 14 dokumen alas hak yang dibawa ke pengadilan. Padahal itu dokumen sah yang justru jadi dasar PPJB. Ini upaya menggiring narasi bahwa tanah itu milik negara, padahal data awal menyebut itu tanah warisan pribadi,” tegasnya.

Ia bahkan menantang, “Tunjukkan bukti tiga kali pengajuan ke BPN! Jika tidak ada, ini jelas drama baru mafia tanah gaya baru—yang dilakukan oleh pemilik sendiri, memanipulasi status tanah demi keuntungan tertentu.”

Jika dokumen dari Pemerintah Desa Gorontalo menyatakan tanah itu milik pribadi dan tidak termasuk sempadan, bagaimana mungkin BPN bisa menyatakan sebaliknya?

“Kalau BPN menyebut tanah itu sempadan, maka berarti mereka bertentangan dengan Pemerintah Desa. Kalau begitu, siapa yang salah? Atau jangan-jangan, ada oknum BPN yang turut bermain?” kata Jon Kadis.

Hingga saat ini kata Jon bahwa kedua pihak hanya akan menyerahkan kesimpulan secara online lewat e-court.

“Perkara ini murni pertarungan dokumen. Dan dokumen formal kami lengkap. Jika surat klarifikasi BPN dijadikan alasan, tanpa bukti formal lain, maka gugatan patut ditolak. Bila tidak, ada sesuatu yang busuk di balik drama ini,” tutup Jon.

Baca Juga : Sengketa Jual-Beli Tanah, Kuasa Hukum Penjual: Ini Bukan Sengketa Hak Milik, Jhon Kadis Bicara Ngawur

Sementara itu, Kuasa Hukum Penggugat, Hipatios Wirawan, SH, mengatakan bahwa seluruh bukti pengajuan permohonan ke BPN sudah ada.

“Sudah cukup untuk tanggapi mekas ini om. Kemarin saya tanggapi karena banyak pernyataan asumtif. Kita sudah ajukan di persidangan, Om John bisa cek sendiri dan tanya di BPN. Ada semua,” jelas Wira, ketika dikonfirmasi media ini pada Sabtu, (26/7) malam.

Wira menyayangkan jika pihak kuasa hukum pembeli tidak membaca dengan jernih isi PPJB yang ditandatangani pada Februari 2024. Dalam perjanjian itu, disebutkan dengan jelas bahwa pembayaran dilakukan bertahap, yaitu Down Payment (DP) dan pelunasan akan dilakukan hanya setelah sertifikat diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kab. Manggarai Barat.

“Jangan bicara soal surat warisan, surat keterangan dari desa, dari kecamatan ataupun riwayat kepemilikan, atau pun alas hak tanah tersebut, jika tidak memahami isi PPJB yang jadi dasar hubungan hukum ini. Faktanya, permohonan sertifikat oleh klien kami ditolak tiga kali oleh BPN, bukan sekali. Dokumen alas hak asli sebagimana disebutkan oleh Jhon Kadis sudah dilampirkan oleh pemohon. Jadi logikanya, bagaimana mungkin jual beli dilanjutkan jika sertifikat tanah tidak bisa terbit?” ungkap Wira.

Ada Surat Resmi dari BPN: Tanah Masuk Kawasan Sempadan Pantai dan Kawasan Pariwisata

Lebih lanjut, Wira menjelaskan bahwa pihaknya bahkan telah mengirimkan surat resmi kepada BPN Labuan Bajo untuk meminta penjelasan tertulis, dan hasilnya tegas: tanah tersebut masuk sempadan pantai dan zona pariwisata, sehingga tidak bisa diterbitkan sertifikat kepemilikan pribadi.

“Itu bukan pernyataan lisan, tapi surat resmi dari BPN Manggarai Barat. Kami bersurat, kami datang, dan kami tempuh prosedur sesuai hukum. Jadi jangan asal tuduh ada mafia tanah hanya karena sertifikatnya tidak bisa keluar,” ujarnya.

Wira juga mengungkapkan bahwa karena tanah tersebut tidak bisa disertifikatkan, sebagaimana syarat pelunasan dalam PPJB maka pihak melakukan gugatan ke PN Labuan Bajo untuk pembatalan akta PPJB tersebut. Dan kliennya punya itikad baik untuk siap mengembalikan uang muka (DP) senilai Rp120 juta,

Namun, kata Wira, pihak pembeli tidak pernah merespons surat resmi yang dikirim kepada pihak pembeli. Bahkan menurut Wira, Lie Sian menunjukkan sikap yang tidak kooperatif dan intimidatif.

“Kami sudah kirim surat resmi ke pembeli, tidak ditanggapi. Di-telepon, di-WA, tidak dijawab. Sekarang, siapa yang mafia?” kata Wira.

Baca Juga : Terendus Dugaan Mafia Tanah di Desa Gorontalo Labuan Bajo: PPJB Dibatalkan, BPN Sebut Tanah Sempadan Pantai!

Dokumen Asli Sengaja Tidak Diberikan Karena Hak Pemilik

Soal tuduhan “menyembunyikan dokumen asli”, Wira menegaskan bahwa dokumen asli pernah diserahkan kepada Lie Sian melalui kuasanya. Namun mereka juga tidak bisa mensertifikatkan obyek jual beli tersebut.

Ia menambahkan, penjual mempunyai hak untuk menyimpan dokumen asli. Itu hak penuh dari pemilik tanah. Apalagi dalam situasi ketidakjelasan seperti ini, memberikan dokumen asli bisa menimbulkan risiko hukum lebih besar, termasuk penyalahgunaan dokumen.

“Kalau diberikan dokumen asli dan proses SHM digantung selamanya oleh pembeli, siapa yang rugi? Itu sebabnya klien kami memilih mengamankan dokumen asli. Ini bukan tanda niat jahat, ini justru langkah preventif. Karena klien kami merasa pembeli mempunyai niat jahat untuk menggantung jual-beli ini. Klien kami itu korban,” jelas Wira.

Wira meminta Jon Kadis untuk tidak menggiring opini publik dengan narasi dramatis yang tidak sesuai dengan duduk perkara hukum.

“Kalau memang ingin mencari keadilan, mari bicara dalam kerangka hukum, bukan di media dengan narasi bombastis. Kasus ini sederhana: objek PPJB tidak bisa dieksekusi karena status lahannya. Maka secara hukum, perjanjian bisa dibatalkan dan uang DP dikembalikan. Jangan playing victim. Periksa isi perjanjian, baca isi surat dari BPN, dan jujurlah terhadap fakta. Jangan tunjuk orang lain mafia, jika jari-jari lainnya mengarah pada diri sendiri.” kata Wira.

Selain itu, Wira menjelaskan bahwa Kliennya menyampaikan tidak puas ketika BPN menyatakan tanah miliknya tidak bisa terbit sertifikat.

“Pak muhamad Saing sudah terima uang dari pembeli. Dia merasa beban dengan uang itu karena takut sewaktu-waktu digugat oleh pembeli dan minta bung uang DP tersebut. Untuk menghindari kerugian lebih besar klien kami meminta kepada pengadilan untuk batalkan PPJB tersebut. Klien kami bahkan sudah menawarkan agar Lie Sian beli tanah tersebut tanpa sertifikat. Tapi Lie Sian dan suaminya terus mendesak supaya mengurus tanah tersebut,” jelas Wira.

Bahkan kata Wira, melalui surat resmi sudah mengirimkan surat ke pembeli bahwa obyek jual beli tidak bisa terbit sertifikat.

“Surat itu juga mereka tidak respon sampai dengan gugatan diajukan ke pengadilan negeri labuan Bajo. Bahkan sidang pun mereka tidak ikut. Hanya pada saat PS,” tutupnya.

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *