Kementerian Kehutanan Angkat Bicara soal Polemik Pembangunan Fasilitas Wisata PT KWE di Pulau Padar

Avatar photo
Iklan tidak ditampilkan untuk Anda.

Jakarta, Okebajo.com – Polemik rencana pembangunan sarana wisata alam di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo (TNK), kembali menjadi sorotan publik. Kementerian Kehutanan akhirnya angkat bicara, menegaskan bahwa setiap aktivitas pembangunan di kawasan konservasi harus taat hukum, berbasis kajian ilmiah, dan mengedepankan prinsip perlindungan satwa serta ekosistem.

“Isu ini menunjukkan betapa tingginya perhatian masyarakat terhadap kelestarian Komodo sebagai satwa endemik dan Pulau Padar sebagai Warisan Dunia UNESCO,” kata Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri Kemenhut, Krisdianto, dalam keterangan pers yang diterima media Okebajoc.com, Selasa (16/9).

Iklan tidak ditampilkan untuk Anda.

Dasar Hukum dan Batasan Izin PT KWE

Krisdianto menjelaskan, PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) mengantongi izin resmi melalui SK Menteri Kehutanan RI Nomor SK.796/Menhut-II/2014. Izin tersebut mencakup 426,07 hektare di Pulau Komodo dan Pulau Padar, dengan porsi di Pulau Padar hanya sekitar 15,37 ha (5,6% dari total konsesi). Pembangunan sarpras dibagi ke dalam tujuh blok dan lima tahapan.

Namun, proyek ini tidak berjalan mulus. Pembangunan pondasi yang dilakukan akhir 2020 hingga awal 2021 dihentikan karena belum dilengkapi dokumen Environmental Impact Assessment (EIA).

“Sejak arahan resmi Dirjen KSDAE Juni 2022, semua kegiatan fisik dihentikan sampai EIA rampung,” tegas Krisdianto.

Konsultasi Publik dan Rekomendasi Kritis

PT KWE telah menyusun EIA dengan menggandeng pakar lintas disiplin dari IPB, serta menggelar konsultasi publik pada 23 Juli 2025 di Labuan Bajo. Sejumlah rekomendasi krusial muncul, antara lain:

1. Fasilitas wisata pada Blok 1–6 perlu digeser atau dikurangi agar tidak tumpang tindih dengan sarang Komodo.

2. Pembangunan jalan sebaiknya dibuat elevated tanpa menebang pohon.

3. Sarang Komodo harus steril dari bangunan dalam radius 10 meter.

4. Pengembangan wisata wajib melibatkan mitra lokal, perguruan tinggi, dan sekolah pariwisata.

5. Rencana operasional harus terus diperbarui sesuai kondisi lapangan.

Mess Karyawan PT PHC dan Isu Lingkungan

Selain PT KWE, publik juga menyoroti pembangunan mess karyawan oleh PT Palma Hijau Cemerlang (PHC). Menjawab hal ini, Kemenhut menegaskan bangunan tersebut bersifat non-permanen, berbahan kayu, dan difungsikan murni untuk menunjang pengawasan kawasan, bukan komersial. Karena itu, pembangunan cukup mengacu pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) TN Komodo, tanpa perlu dokumen AMDAL baru.

Populasi Komodo Masih Stabil

Data monitoring Balai TN Komodo bersama Yayasan Komodo Survival Program (KSP) menunjukkan populasi Komodo di Pulau Padar relatif stabil dalam tiga tahun terakhir. Bahkan, data 2025 memperlihatkan indikasi peningkatan, meski hasil analisis lengkap masih menunggu finalisasi.

Manfaat Ekonomi bagi Masyarakat

Ekowisata di kawasan TN Komodo telah memberi dampak langsung pada masyarakat lokal. Sedikitnya 218 warga dari Rinca, Kerora, Komodo, Papagarang, Mesah, hingga Labuan Bajo terlibat sebagai pemandu wisata, penyedia kuliner, hingga penjual souvenir. Lebih luas, sektor pariwisata di Labuan Bajo menopang 4.572 lapangan kerja, 113 hotel, 89 usaha kuliner, dan 537 kapal wisata.

Komitmen Kemenhut: Jaga Komodo, Jaga Pulau Padar

Kemenhut menegaskan, pembangunan resort di Pulau Padar tidak boleh keluar dari koridor hukum dan rekomendasi EIA.

“Kami memastikan habitat dan sarang Komodo tetap terlindungi. Semua pihak harus bersabar menunggu hasil penilaian UNESCO/WHC yang sedang berjalan,” kata Krisdianto.

Ia juga mengingatkan publik agar bijak menyikapi informasi, menghindari kabar menyesatkan yang justru merusak upaya menjaga integritas kawasan konservasi kelas dunia ini.

Penulis : Pedi Paty

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *