Kupang, Okebajo.com — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Timur menyampaikan tujuh tuntutan tegas kepada pemerintah pusat dan daerah menyusul terungkapnya aktivitas tambang emas ilegal di Pulau Sebayur Besar—wilayah yang berada dalam zona penyangga Taman Nasional Komodo (TNK). WALHI NTT menilai kasus ini sebagai kegagalan negara melindungi kawasan konservasi, sekaligus bukti lemahnya pengawasan lingkungan selama lebih dari satu dekade.
Tujuh tuntutan tersebut meliputi:
1. Penghentian total aktivitas penambangan dan penutupan permanen lokasi tambang di Pulau Sebayur Besar.
2. Audit menyeluruh perizinan, termasuk izin yang pernah diterbitkan dan dugaan keterlibatan oknum dalam pembiaran aktivitas ilegal.
3. Penegakan hukum tegas terhadap pelaku, pemodal, dan pihak yang memberikan perlindungan.
4. Investigasi terpadu oleh KLHK–ESDM–Aparat Penegak Hukum untuk memastikan tidak ada aktivitas tambang ilegal lain di gugusan pulau sekitar TNK.
5. Pemulihan ekologis berbasis kajian ilmiah independen, dengan memastikan kerusakan terukur dan rencana pemulihan berjangka panjang.
6. Transparansi publik atas tindak lanjut seluruh instansi terkait.
7. Evaluasi menyeluruh tata kelola TN Komodo, termasuk penataan tracking, penzonaan, pengawasan pulau-pulau penyangga, serta pengelolaan pemanfaatan ruang yang selama ini tidak konsisten dengan prinsip konservasi.
Pulau Sebayur Besar: Kawasan Ecologis Strategis yang Dikeruk Diam-Diam
Temuan Satgas Koordinasi Supervisi KPK Wilayah V pada 27 November 2025 menunjukkan adanya aktivitas penambangan emas yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi pada malam hari. Foto-foto yang diperoleh WALHI NTT memperlihatkan alat berat dan pipa besar berserakan tanpa pelaku, diduga karena mereka melarikan diri lewat jalur laut menuju NTB.
Elkelvin Wuran, Divisi Advokasi dan Kajian Hukum WALHI NTT, dalam keterangan pers yang diterima media ini pada Kamis, 4 Desember 2025 menyatakan bahwa keberadaan tambang di pulau kecil yang termasuk lanskap konservasi Komodo adalah bukti betapa lemahnya pengawasan dan tata kelola ruang di Manggarai Barat.
“Bagaimana aktivitas sebesar ini bisa berlangsung sejak 2010 sampai 2025 tanpa terdeteksi atau dihentikan? Ini menunjukkan kegagalan sistemik di tingkat pusat dan daerah,” tegas Elkelvin Wuran.
Kekacauan Tata Kelola TN Komodo Jadi Akar Masalah
Menurut WALHI NTT, tambang ilegal di Sebayur Besar tidak berdiri sendiri. Kasus ini berkaitan erat dengan : perubahan zonasi TNK yang tidak transparan, konsesi wisata kepada pemodal besar yang bertentangan dengan prinsip konservasi, serta lemahnya koordinasi antar-instansi.
Situasi ini kontras dengan promosi Labuan Bajo sebagai destinasi “super premium”, sementara kawasan penyangga justru dibiarkan menjadi ruang subur aktivitas ilegal.
Hukum Indonesia Jelas Melarang Tambang di Pulau Kecil
WALHI NTT menekankan bahwa aktivitas tambang di Pulau Sebayur Besar bukan sekadar ilegal secara administratif, tetapi melanggar UU PWP3K, Putusan MA 57/2022, dan Putusan MK 35/2023, yang secara tegas menyatakan bahwa pulau kecil tidak boleh dieksploitasi untuk pertambangan.
Ancaman Ekologis Nyata: Merkuri dan Sianida Mengintai Komodo
Menurut Elkelvin Wuran bahwa penggunaan bahan kimia berbahaya dalam penambangan emas dapat mencemari laut, merusak terumbu karang, membahayakan populasi komodo, hingga mengganggu kesehatan masyarakat pesisir. Kerusakan ekologis ini dapat berlangsung puluhan tahun dan mengancam industri pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi Manggarai Barat.
WALHI NTT: Reformasi Total Tata Kelola TNK adalah Harga Mati
Elkelvin menegaskan bahwa kasus Sebayur Besar adalah alarm keras bagi pemerintah. Negara tidak boleh lagi hanya melakukan operasi sporadis tanpa pembenahan struktural.
“Pulau kecil tidak boleh ditambang—itu jelas secara hukum dan etika ekologis. Tanpa reformasi total tata kelola TN Komodo, kasus seperti Sebayur akan terus berulang,” tutupnya.







