Santosa Kadiman dan Haji Ramang Diminta Bertanggung Jawab, Sidang Gugatan Pemilik 3,1 Ha Tanah Keranga Dibanjiri Dukungan Keluarga Korban Penyerobotan

Avatar photo

Labuan Bajo, Okebajo.com — Aroma perjuangan warga lokal kembali menguar di ruang sidang Pengadilan Negeri Labuan Bajo. Rabu, 17 Juli 2025, puluhan anggota keluarga Mustarang dan Abdul Haji memadati ruang sidang, mengawal gugatan perdata atas lahan 3,1 hektare milik mereka di Bukit Kerangan yang diduga dikuasai secara sepihak oleh pengusaha Santosa Kadiman cs.

Sidang kali ini baru memasuki tahap awal, yaitu penyerahan surat gugatan dan kuasa hukum. Namun semangat dan tekad warga yang merasa dirampas haknya sangat terasa. “Kami ingin keadilan ditegakkan. Kami tidak akan menyerah sampai titik darah penghabisan,” tegas salah satu kerabat penggugat.

Mustarang dan Abdul Haji adalah dua dari tujuh warga yang menggugat melalui perkara nomor 32 dan 33/Pdt.G/2025/PN Lbj, didampingi tim kuasa hukum dari Sukawinaya-88 Law Firm & Partners, yang dipimpin oleh Irjen Pol (P) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si, dengan anggota Dr(c) Indra Triantoro, S.H., M.H., Jon Kadis, S.H., Indah Wahyuni, S.H., dan Ni Made Widiastanti, S.H.

Diketahui, obyek sengketanya adalah bidang Tanah milik penggugat yang diperoleh langsung dari Fungsionaris Ulayat 1992, terletak di Golo Kerangan, Kelurahan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, tepat di sebelah barat jalan raya Labuan Bajo – Kerangan, dimana saat ini terlihat ada pos penjagaan, pagar seng merah yang terbentang di pinggi sepanjang jalan raya itu. Tanah ini belum pernah terjual kepada siapapun oleh pemiliknya sampai hari ini.

Tergugatnya adalah Rosyina Yulti Mantuh, Albertus Alvano Ganti, Santosa Kadiman dan Hotel The St.Regis Labuan Bajo. Turut tergugatnya adalah Ramang Ishaka, Muhamad Syair, Notaris Billy Yohanes Ginta dan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kabupaten Manggarai Barat.

Fakta-Fakta Mencengangkan di Balik Sengketa

Kuasa hukum penggugat, Jon Kadis, S.H., membeberkan tujuh fakta yang menunjukkan indikasi kuat adanya penyerobotan, rekayasa administratif, hingga dugaan keterlibatan oknum pejabat negara:

Pertama; tanah yang diperoleh Abdul Haji dan Mustarang dari fungsionaris ulayat tahun 1992, secara mengejutkan tercatat atas nama Rosyina Yulti Mantuh dan Albertus Alviano Ganti di Gambar Ukur tahun 2017. Kedua nama ini tak pernah dikenal pemilik tanah, dan diduga kuat hanya boneka dari alm. Nikolaus Naput, Santosa Kadiman, atau jaringan Hotel St. Regis Labuan Bajo. Bahkan diduga debagai bonekanya oknum di kantor BPN Labuan Bajo. Diduga nama mereka dipinjam ke dalam 40 ha PPJB fiktif itu.

Kedua; April 2021, tanah itu dikuasai secara fisik. Tiba-tiba muncul basecamp, pagar seng merah, pos penjagaan, ekskavator, bahkan bangunan semi permanen. Peletakan batu pertama pembangunan Hotel St. Regis pun digelar di atas tanah tersebut, dengan pengamanan ketat.

Ketiga; Saat itu, warga memilih diam karena takut dan tidak memiliki kekuatan melawan. Apalagi saat acara peresmian dihadiri oleh Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, lengkap dengan pengamanan ketat dari aparat.

Keempat; Putusan PN Labuan Bajo (23 Oktober 2024, No. 1/2024) dan banding di PT Kupang (18 Maret 2025) 7menyatakan bahwa PPJB 40 ha milik Santosa Kadiman cs batal demi hukum. Termasuk akta notaris Billy Yohanes Ginta dinyatakan cacat hukum berdasarkan temuan Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI.

Kelima; Tanah penggugat ini, yang sudah ada Gambar Ukur atas nama Rosyina Yulti Mantuh dan Albertus Alviano Ganti, sejak Maret 2025 sudah dipagari seng, dibangun pondok pos jaga, serta terdapat spanduk bertuliskan “tanah ini milik ahli waris alm. Nikolaus Naput dan Beatrix Seran Nggebu, berdasarkan surat perolehan dari fungsionaris ulayat Oktober 1991”.

Keenam; Haji Ramang, keturunan Ishaka (tokoh fungsionaris adat), pernah bersumpah dalam perkara Tipikor 30 ha tahun 2021 bahwa tanah perolehan Naput telah dibatalkan sejak 1998 karena menumpang di tanah orang lain. Kini, penggugat berharap Haji Ramang kembali bersaksi — kali ini di bawah sumpah di sidang perdata — untuk membuktikan bahwa tanah yang diklaim Naput sudah tidak berlaku secara adat dan hukum.

Ketujuh; Pada 2012, para penggugat telah memulai proses sertifikasi sah atas tanah mereka dengan surat alas hak yang sah dari fungsionaris ulayat. Sidang Panitia A telah digelar, dihadiri Haji Ramang dan pihak Naput, tanpa ada keberatan. Tapi kini, tiba-tiba tanah tersebut dialihkan dan diklaim pihak lain.

“Tanam Pohon di Golo Mori, Buahnya Dipetik di Kerangan”

Ironi besar terasa ketika lokasi tanah yang diklaim oleh ahli waris Naput berdasarkan surat tahun 1991, seharusnya berada di sebelah timur jalan raya, bukan di lokasi tanah milik Abdul Haji dkk yang berada di sebelah barat jalan — jaraknya pun terpaut 3-5 km!

“Ini seperti tanam pohon di Golo Mori, buahnya dipetik seenaknya di Bukit Kerangan,” kata Mustarang salah satu penggugat.

“Kami tidak takut. Kami akan tempuh jalur hukum dan kalau perlu, duduki kembali tanah itu,” tegas salah satu keluarga penggugat usai sidang.

Mereka menolak tunduk pada apa yang mereka sebut sebagai “monster mafia tanah” yang merampas hak masyarakat kecil di Labuan Bajo.

Sidang lanjutan dijadwalkan dalam waktu dekat. Harapan keluarga besar agar PN Labuan Bajo mampu menjadi benteng terakhir bagi warga lokal, dalam menghadapi raksasa kekuasaan dan modal. **

 

Oke Bajo

Editor: Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *