Labuan Bajo, Okebajo.com – Konflik tanah di kawasan strategis Tanjung Torolema atau Bukit Kerangan, Labuan Bajo, kembali memanas. Ahli waris almarhum Ibrahim Hanta serta 7 ahli waris pemilik tanah 3,1 hektar, melalui tim kuasa hukumnya, memastikan akan menggugat PT Bumi Indah Internasional (BII) Jakarta ke Pengadilan Negeri (PN) Labuan Bajo. Gugatan ini buntut dari dugaan praktik mafia tanah seluas 40 hektare yang sejak lama menjadi sorotan publik.
Ketua tim kuasa hukum, Irjen Pol (Purn) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si, didampingi Dr (c) Indra Triantoro, S.H., M.H., Ni Made Tanti, S.H., Jon Kadis, S.H., dan Endah Wahyuni, S.H., menegaskan bahwa penguasaan tanah oleh pihak luar atas nama Nikolaus Naput dan Santosa Kadiman telah memicu gelombang penolakan masyarakat adat setempat sejak 2014.
Klaim 40 Hektare yang Sarat Kejanggalan
Awal persoalan bermula ketika Nikolaus Naput, warga Ruteng, mengklaim tanah seluas 40 hektare di Kerangan. Klaim ini kemudian “dijual” melalui akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) di hadapan notaris Billy Yohanes Ginta dengan pembeli bernama Santosa Kadiman, yang mengaku mewakili manajemen Hotel St. Regis.
Padahal, tanah tersebut kata Irjen Pol (Purn) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si, sudah lama menjadi bagian dari tanah ulayat masyarakat adat Nggorang, yang pembagiannya dilakukan langsung oleh fungsionaris adat Haji Ishaka dan Haku Mustafa.
Fakta-Fakta di Persidangan
Sementara itu, Jon Kadis, SH membeberkan sejumlah fakta persidangan dari perkara perdata No. 1/Pdt.G/2024/PN.Lbj yang diajukan ahli waris Ibrahim Hanta (pemilik sah tanah 11 hektare), sejumlah fakta terungkap di persidangan:
Pengukuran Ilegal
Jon menjelaskan bahwa Saksi Aryo Juwono dan John Don Bosco mengaku mengukur tanah 40 hektare itu hanya dengan Google Map, tanpa melibatkan petugas BPN, atas perintah Haji Ramang Ishaka.
“Data Kepemilikan Tidak Sinkron
Dokumen tanah Nikolaus Naput hanya mencatat 31 hektare (10 ha + 5 ha + 16 ha). Namun, dalam PPJB disebutkan 40 hektare. Ketika hakim bertanya asal usul 9 hektare sisanya, saksi menjawab “tidak tahu.,” kata Jon Kadis.
Surat Pembatalan 1998
Surat adat tahun 1998 membatalkan klaim 31 hektare milik Nikolaus Naput karena tumpang tindih dengan tanah Pemda Manggarai Barat dan tanah warga.
“Keterangan di Kasus Tipikor 2021
Dalam kasus Tipikor tanah 30 hektare Pemda Manggarai Barat, saksi Haji Ramang mengakui tanah milik Nikolaus Naput telah dibatalkan sejak 1998,” jelas Jon.
Temuan Kejagung 2024
Jon Kadis menuturkan bahwa hasil pemeriksaan intelijen Kejaksaan Agung menyatakan sertifikat yang sudah terbit cacat hukum, cacat lokasi, dan cacat administrasi. Alas hak 16 hektare tidak pernah ada atau diduga palsu. PPJB 40 hektare dinyatakan batal demi hukum.
Groundbreaking Hotel St. Regis
Meski status tanah bermasalah, pada 21 April 2022 kata Jon, dilakukan groundbreaking pembangunan hotel oleh Santosa Kadiman, dengan izin yang diurus PT Bumi Indah Internasional. Sejak itu, lahan digusur menggunakan ekskavator dan berdiri pos jaga serta basecamp.
Tanah Warga Tergusur
Selain itu kata Dia bahwa tanah lokasi groundbreaking ternyata sebagian adalah milik 7 warga Labuan Bajo seluas 3,1 hektare yang diperoleh sah dari Haji Ishaka sejak 1992. Warga tersebut kini menggugat melalui perkara perdata No. 32 dan 33/Pdt.G/2025/PN.Lbj, dan dalam waktu dekat juga akan menggugat PT Bangun Indah Internasional ke PN Labuan Bajo.
Tuntutan Masyarakat Adat
Irjen Pol (Purn) I Wayan Sukawinaya menegaskan bahwa masyarakat tidak menolak investasi, tetapi menolak praktik yang disebutnya sarat dengan premanisme dan mafia tanah.
“Masyarakat Labuan Bajo sangat berterima kasih bila investor ikut membangun kawasan super premium ini. Tetapi rakyat menolak keras jika pembangunan dilakukan dengan mengorbankan hak pemilik tanah yang sah. Dari fakta-fakta ini kuat dugaan ada unsur pidana yang harus dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Nama-nama seperti Santosa Kadiman, Haji Ramang Ishaka, Muhamad Syair (oknum BPN Labuan Bajo), hingga ahli waris Nikolaus Naput dan Beatrix Seran disebut sebagai pihak yang perlu dimintai pertanggungjawaban.