Labuan Bajo, Okebajo.com – Labuan Bajo selama ini dielu-elukan sebagai surga pariwisata dunia, destinasi utama setelah Bali dan Lombok. Dari bukit hingga lautnya, panorama ciptaan Tuhan begitu memukau, membuat wisatawan dan investor berbondong-bondong datang. Namun, di balik geliat investasi besar, terselip kisah kelam sengketa tanah yang mencoreng citra destinasi super premium ini.
Salah satu proyek prestisius yang tengah menjadi sorotan adalah pembangunan Hotel St. Regis di kawasan Bukit Torolema dan Kerangan, Labuan Bajo. Lokasinya strategis dengan pemandangan sunset spektakuler, gugusan pulau, hingga Pulau Komodo. Namun, sejak peletakan batu pertama pada April 2022 oleh Santosa Kadiman, proyek ini justru menimbulkan gejolak hukum dan sosial.
Surat Kejagung: Sertifikat Bermasalah, Amdal Diduga Bodong
Pembangunan hotel mewah itu dilaksanakan oleh PT. Bumi Indah Internasional, dengan izin bangunan atas nama PT. Bangun Indah Internasional. Namun, pada 23 Agustus 2024, Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI melayangkan surat resmi kepada Bupati Manggarai Barat. Surat itu meminta pemerintah daerah mengawasi ketat pembangunan, karena ditemukan indikasi tumpang tindih lahan warga serta dugaan pelanggaran hukum.
Lebih jauh, Kejagung bahkan menegaskan bahwa sertifikat tanah yang dipakai Santosa Kadiman cacat yuridis, cacat administrasi, salah lokasi, dan tanpa alas hak asli. Publik pun bertanya-tanya: benarkah hotel berkelas internasional ini berdiri tanpa AMDAL yang sah? Jika benar, dampaknya bukan hanya merugikan pemilik tanah, tetapi juga bisa merusak ekosistem laut, pantai Kerangan, hingga lingkungan Labuan Bajo yang menjadi daya tarik wisata dunia.
“Tanahnya bodong, Amdalnya juga kuat dugaan bodong. Jika dibiarkan, ini contoh buruk yang mencoreng nama Labuan Bajo,” tegas Gus Din, Ketua Aliansi Relawan Prabowo Gibran (ARPG) di Jakarta, Jumat (19/09/2025).
Perlawanan Warga: Siap Mati di Atas Tanah Warisan
Tak tinggal diam, para pemilik tanah yang merasa dirampas menempuh jalur hukum. Dr (c) Indra Triantoro, S.H., M.H., kuasa hukum warga, menegaskan bahwa apa yang dilakukan Santosa Kadiman beserta perusahaan-perusahaannya adalah perbuatan melawan hukum (PMH).
“Klien kami tidak pernah menjual tanahnya kepada siapapun. Mereka siap mati di lokasi demi mempertahankan tanah warisan leluhur,” ujarnya.
Hingga kini, setidaknya ada lima gugatan perdata yang diajukan di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, yakni perkara No.1/2024, 32/2025, 33/2025, 41/2025, dan 44/2025. Gugatan pertama (No.1/2024) bahkan sudah dimenangkan warga di tingkat PN dan PT Kupang, dan kini tinggal menunggu putusan kasasi Mahkamah Agung.
“Kami optimis menang. Fakta di persidangan membuktikan klaim 40 hektare Santosa Kadiman hanyalah fiktif,” tambah Indra.
Klaim Fiktif 40 Hektare, Spanduk Menyesatkan
Akar sengketa ini berawal dari klaim Santosa Kadiman yang menyebut memiliki tanah seluas 40 hektare berdasarkan Akta PPJB Januari 2014. Namun, fakta di persidangan menunjukkan klaim itu tidak terbukti.
Di lokasi, terpasang spanduk yang menyebut tanah itu diperoleh dari tanah adat sejak 21 Oktober 1991. Padahal, letak tanah adat tersebut berada di sebelah timur jalan raya Labuan Bajo–Batu Gosok, sedangkan lahan yang disengketakan berada di sisi barat jalan. Kontradiksi inilah yang membuat klaim Kadiman semakin dipertanyakan.
“Welcome Investor, Tapi Jangan Rampas Hak Warga”
Meski polemik ini mengundang amarah warga, masyarakat Labuan Bajo tetap membuka diri terhadap investasi. Mereka sadar bahwa kehadiran investor bisa membawa perubahan positif, membuka lapangan kerja, dan mendongkrak ekonomi daerah. Namun, mereka menolak jika investasi justru berdiri di atas penderitaan rakyat kecil.
“Welcome investor, tapi pemilik tanah jangan ditimpa ketidakadilan. Investasi harus menjunjung tinggi hukum dan menghormati hak warga,” tegas Jon Kadis, S.H., anggota tim kuasa hukum warga.
Para penggugat kini mempercayakan perlawanan hukum mereka kepada Kantor Advokat Sukawinaya-88 & Partners, yang dipimpin oleh Irjen Pol (P) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si.
Ia menuturkan bahwa kasus sengketa tanah Hotel St. Regis Labuan Bajo adalah cermin rapuhnya tata kelola investasi di daerah wisata super premium. Di satu sisi, Labuan Bajo membutuhkan investasi demi kemajuan. Namun, di sisi lain, pelanggaran hukum, klaim fiktif, dan dugaan tanpa AMDAL justru mengancam citra pariwisata kelas dunia yang dibangun dengan susah payah.
“Pertanyaannya kini: apakah hukum akan berpihak pada rakyat kecil yang mempertahankan tanah warisan leluhur, atau pada pemodal besar yang mengklaim tanah dengan dokumen bermasalah? Jawaban itu akan menjadi tolok ukur keadilan di Labuan Bajo, surga pariwisata yang sedang diuji oleh rakusnya mafia tanah,” tutupnya.