Labuan Bajo | Okebajo.com | Pemandangan memilukan kembali terjadi di Kampung Sita, Desa Golo Nobo, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Setiap musim hujan tiba, nyawa puluhan anak-anak sekolah dasar seolah dipertaruhkan demi mendapatkan hak pendidikan. Hari ini, Selasa (14/10/2025), setelah hujan lebat mengguyur selama kurang lebih tiga jam mulai pukul 11.30 WITA, anak-anak SDN Rintung harus menyeberang derasnya luapan air Sungai Wae Cipi yang berubah menjadi banjir coklat pekat, hanya untuk bisa sampai ke rumah mereka.
Sungai Wae Cipi yang membelah akses antara sekolah dan kampung ini menjadi mimpi buruk tahunan bagi siswa-siswi kecil tersebut. Mereka yang menempuh jarak sekitar dua kilometer berjalan kaki, kini berhadapan dengan arus ganas karena ketiadaan jembatan penyeberangan yang memadai.
Dalam foto yang direkam hari ini, terlihat jelas betapa berisikonya perjuangan ini. Anak-anak yang sebagian besar mengenakan seragam sekolah, dengan plastik atau jas hujan seadanya, tampak ragu dan takut di tepi sungai. Sebagian dari mereka harus dibantu atau bahkan digendong oleh orang dewasa untuk melawan derasnya air yang setinggi lutut orang dewasa. Potongan kayu sisa reruntuhan di sisi sungai hanya menjadi saksi bisu betapa parahnya kerusakan infrastruktur yang memaksa mereka memilih antara putus sekolah atau bertaruh nyawa.
Kejadian ini bukanlah yang pertama. Ini adalah drama berulang yang terjadi setiap musim penghujan, sebuah jeritan pilu yang seakan tenggelam dalam keheningan birokrasi. Mereka adalah generasi penerus bangsa, namun terpaksa menjalani ujian fisik dan mental yang tidak seharusnya mereka tanggung.
Seruan untuk Pemerintah: Buka Mata dan Hati!
Potret kepiluan ini adalah tamparan keras bagi nurani kita semua, khususnya Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan Pemerintah Provinsi NTT. Akses pendidikan yang aman adalah hak fundamental, bukan kemewahan.
Pembangunan jembatan penyeberangan di atas Sungai Wae Cipi bukan lagi sekadar proyek infrastruktur, melainkan investasi nyawa dan masa depan anak-anak Kampung Sita dan sekitarnya.
Kepada pemangku kebijakan, dari tingkat desa hingga pusat, mohon bukalah mata terhadap air mata dan ketakutan yang terpancar dari wajah polos mereka. Jangan biarkan hak anak-anak untuk bersekolah terenggut oleh ancaman banjir dan ketiadaan perhatian. Mereka membutuhkan jembatan, sekarang, bukan nanti. Jangan tunggu hingga tragedi merenggut nyawa baru proyek ini dianggap mendesak.
Potret hari ini harus menjadi titik balik. Sudah saatnya Pemerintah bertindak cepat, konkret, dan tuntas agar kisah perjuangan yang mengiris hati ini tidak lagi menjadi berita musiman. Wae Cipi harus diubah dari ancaman menjadi jalan harapan. *(Robert Perkasa)