Temuan Tambang Emas Ilegal di Manggarai Barat, WALHI NTT Sebut Sebagai Kegagalan Negara Menjaga Kawasan Konservasi

Avatar photo
Iklan tidak ditampilkan untuk Anda.

Kupang, Okebajo.com – Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam hal ini oleh Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi Supervisi KPK wilayah V pada 27 November 2025 mengenai aktivitas pertambangan emas ilegal di Pulau Sebayur Besar, Desa pasir, Putih, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Bara, NTT yang berada tepat di zona penyangga Taman Nasional Komodo (TNK) mengungkap persoalan mendasar terkait lemahnya tata kelola kawasan konservasi, buruknya pengawasan sumber daya alam, dan ketidakteraturan perizinan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Elkelvin Wuran, Divisi Advokasi dan Kajian Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI NTT) dalam keterangan pers yang diterima media ini Kamis, 4 Desember 2025 menjelaskan bahwa Pulau Sebayur Besar adalah bagian dari gugusan pulau kecil sekitar TNK yang memiliki nilai konservasi tinggi dan fungsi ekologis penting.

Iklan tidak ditampilkan untuk Anda.

Letaknya yang berdekatan dengan habitat satwa endemik Komodo dan ruang hidup masyarakat Ata Modo menyebabkan setiap bentuk gangguan lingkungan di pulau-pulau tersebut berpotensi mengancam sistem ekologis yang lebih luas.

Ia menerangkan bahwa berdasarkan hasil temuan dari Ketua Satgas Koordinasi Supervisi KPK wilayah V, Andi Dian Patra bahwa aktivitas penambangan di Pulau Sebayur Besar dilakukan diam-diam pada malam hari. Informasi mengenai ini didapatnya setelah menerima aduan, yang langsung direspons pihaknya dengan melakukan investigasi lapangan.

“Dalam beberapa foto yang diperoleh WALHI NTT pada 27 November, Andi menyebut saat pihaknya turun ke lokasi yang diduga menjadi tempat penambangan itu, tampak terlihat alat-alat berat dan pipa besar tertinggal berantakan, tapi pelakunya sudah menghilang. Hasil dari penambangan itu, diduga dibawa lewat jalur laut menuju NTB,” jelas Elkelvin Wuran.

Temuan ini mempertegas bahwa pembenahan tata kelola lingkungan hidup di Manggarai Barat tidak dapat dipisahkan dari reformasi pengelolaan TNK, yang selama beberapa tahun terakhir diwarnai sejumlah kebijakan bermasalah, termasuk pengelolaan tracking, pemetaan zona, hingga praktik pemanfaatan ruang yang tidak konsisten dengan prinsip konservasi.
Persoalan Perizinan dan Transparansi yang Lemah

Ia menegaskan, WALHI NTT memandang bahwa keberadaan aktivitas tambang di Pulau Sebayur Besar menunjukkan adanya kegagalan sistem perizinan yang semestinya tunduk pada prinsip kehati-hatian dan perlindungan ekologis. Beberapa pertanyaan kunci yang harus dijawab pemerintah antara lain:

Apakah pernah diterbitkan izin eksplorasi atau operasi produksi di kawasan tersebut?

“Pulau Sebayur Besar merupakan pulau kecil yang berada dalam lanskap konservasi Komodo sehingga setiap bentuk izin pemanfaatan ruang harus melalui kajian ketat dan dapat diakses publik. Jika tidak ada izin, bagaimana aktivitas ini dapat berlangsung tanpa sistem deteksi dini atau tanpa tindakan penghentian sejak awal?
Fakta bahwa aktivitas penambangan bisa beroperasi dalam sepuluh tahun, sejak 2010–2025 mengindikasikan lemahnya fungsi pengawasan lintas instansi—baik pusat maupun daerah,” kata Elkelvin Wuran.

Menurutnya, joka ada izin yang pernah diterbitkan, maka keabsahan, proses, dan pemegang izinnya harus diaudit, termasuk potensi penyalahgunaan kewenangan.

“Di kawasan Taman Nasional Komodo, tata kelola ruang sejak lama dibayangi pola kebijakan yang tidak konsisten. Perubahan batas zona pemanfaatan yang dilakukan tanpa penjelasan memadai, ketidakjelasan mengenai buffer zone, hingga pemberian hak kelola kepada pihak-pihak tertentu yang kerap bertolak belakang dengan kaidah konservasi, menciptakan celah pengawasan yang semakin melebar. Dalam ruang yang longgar seperti itu, aktivitas ilegal penambangan emas di Pulau Sebayur Besar dapat tumbuh tanpa terkendali,” kata Elkelvin.

Situasi ini menjadi kontras ketika Labuan Bajo terus dipromosikan sebagai destinasi “super premium”. Narasi pembangunan berkelanjutan yang disampaikan pemerintah tidak sebanding dengan fakta lapangan: pengawasan lingkungan hidup justru berjalan paling lemah di titik-titik yang paling sensitif secara ekologis. Sebayur hanyalah salah satu contoh kecil dari persoalan besar yang mengendap di balik industri pariwisata skala besar.

Situasi serupa terlihat jelas di Pulau Padar. Di tengah teguran UNESCO yang berulang kali mengingatkan pemerintah agar menahan diri dari proyek-proyek yang mengancam nilai universal kawasan, dua perusahaan yang terkoneksi dengan keluarga Setya Novanto dan kelompok bisnis Tomy Winata telah memulai aktivitas mereka di sisi utara pulau itu.

Rencana pendirian pusat bisnis dengan ratusan vila di Pulau Padar oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) sebagai pemegang izin usaha sarana pariwisata alam (IUPSW)A sejak 2014—memperlihatkan pergeseran fungsi yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan para pemodal besar.

“PT KWE mendapat IUPSW A dengan konsesi seluas 274,13 hektare di Pulau Padar pada 2014 melalui SK Menteri Kehutanan No: SK.796/Menhut-II/2014,” jelasnya.

Izin itu kata dia, terbit dua tahun setelah status konservasi pulau itu beralih dari sebelumnya hanya zona inti dan zona rimba menjadi zona pemanfaatan wisata darat, hal yang kemudian memicu perhatian UNESCO dan elemen sipil tentang masa depan pulau yang jadi bagian dari Situs Warisan Dunia dan habitat alami komodo itu.

“Dinamika ini menggambarkan koalisi kepentingan yang mengakar dalam pengusahaan pariwisata di Pulau Padar, sebuah pulau yang status konservasinya seharusnya tidak memberi ruang bagi proyek-proyek yang melampaui kapasitas daya dukung ekologis,” ungkap Elkelvin.

Tidak Adanya Tindak Lanjut Signifikan dari Pemerintah Daerah dan Instansi Teknis

Le ih lanjut Elkelvin Wuran menegaskan, KPK menyatakan bahwa temuan aktivitas tambang ilegal tersebut telah disampaikan kepada Kementerian Kehutanan, KLHK, Kementerian ESDM, dan Bupati Manggarai Barat. Dengan demikian, pemerintah daerah dan instansi teknis memiliki kewajiban hukum untuk:

Pertama ; menghentikan seluruh aktivitas penambangan,

Kedua; melakukan penegakan hukum administratif maupun pidana,

Ketiga; mengambil langkah pemulihan ekologis.

“Namun sampai saat ini, tidak tampak adanya tindakan konkret yang proporsional dengan tingkat ancaman ekologisnya. Situasi ini menimbulkan dugaan kuat adanya pembiaran atau bahkan keterlibatan oknum, sebagaimana diindikasikan oleh kekhawatiran KPK mengenai potensi praktik “backing” dan suap untuk melindungi aktivitas ilegal tersebut,” kata Elkelvin.

Ketidaktegasan serupa juga terlihat dalam pengelolaan TNK, misalnya dalam evaluasi izin tracking dan pemanfaatan ruang di pulau-pulau sekitarnya. Ketidaksinkronan kebijakan dan lemahnya koordinasi antar-instansi menyebabkan celah besar bagi praktik ilegal seperti tambang emas di Sebayur Besar.

Menurutnya, Indonesia memiliki payung hukum yang tegas melarang pertambangan di pulau kecil. Dengan karakter ekologisnya, Pulau Sebayur Besar termasuk kategori ini, sehingga seluruh aktivitas tambang secara langsung melanggar hukum.

Dasar hukum yang relevan:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K)

Undang-undang ini menjadi dasar hukum utama dalam pengaturan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Pasal 23 ayat (2) secara tegas mengatur bahwa pemanfaatan pulau kecil harus diprioritaskan untuk kepentingan yang bersifat ekologis dan berkelanjutan, yaitu: konservasi, penelitian, pendidikan, pariwisata, perikanan, pertanian organik, pertahanan, dan budidaya laut.

Kegiatan pertambangan tidak termasuk dalam daftar tersebut, sehingga secara hukum tidak diperkenankan dilakukan di pulau kecil. Norma ini menempatkan perlindungan ekologis sebagai landasan utama, mengingat pulau kecil memiliki daya dukung terbatas dan risiko kerusakan yang sangat tinggi bila digunakan untuk aktivitas ekstraktif.

b. Putusan Mahkamah Agung No. 57 P/HUM/2022

Putusan ini menjadi rujukan penting dalam penegasan larangan pertambangan di pulau kecil. Mahkamah Agung menyatakan bahwa aktivitas pertambangan di pulau kecil termasuk kategori abnormally dangerous activities, yakni kegiatan yang secara inheren berbahaya dan berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis permanen.

Penilaian ini mempertegas bahwa eksploitasi mineral di pulau kecil tidak hanya melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip perlindungan lingkungan yang bersifat preventif.

“Dengan demikian, walaupun suatu izin pernah diterbitkan, sifat berbahaya dari aktivitas tersebut membuatnya tidak dapat dibenarkan secara hukum maupun ekologis,” tegasnya.

c. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023

Putusan MK ini memperkuat seluruh kerangka hukum sebelumnya dengan menegaskan dua hal utama:

Larangan tegas terhadap aktivitas pertambangan di pulau kecil, sebagai bentuk perlindungan konstitusional terhadap ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kewajiban negara untuk menjaga dan menjamin keberlanjutan fungsi ekologis wilayah tersebut, mengingat pulau-pulau kecil adalah bagian penting dari ketahanan ekologis, ekonomi, dan sosial masyarakat pesisir yang bersifat jangka panjang.

“Putusan MK ini menempatkan pulau kecil sebagai entitas ekologis strategis yang tidak boleh dijadikan objek eksploitasi ekstraktif, sekaligus mempertegas bahwa negara harus mengambil tindakan aktif dalam mencegah, menghentikan, dan menindak pelanggaran tata ruang di kawasan tersebut,” ungkapnya.

Dengan tiga dasar hukum tersebut, aktivitas tambang di Pulau Sebayur Besar bukan sekadar ilegal tetapi merupakan pelanggaran terhadap prinsip perlindungan lingkungan yang menjadi mandat konstitusional.

Ancaman Ekologis Serius bagi Kawasan Konservasi dan Pariwisata Labuan Bajo

Penggunaan merkuri dan sianida dalam aktivitas penambangan emas membawa ancaman toksik bagi: ekosistem perairan Pulau Sebayur–Pulau Komodo, terumbu karang yang menjadi daya tarik utama wisata diving, populasi komodo dan biota laut lainnya, serta kesehatan masyarakat pesisir.

“Dampak pencemaran bahan kimia pertambangan dapat berlangsung jangka panjang dan memerlukan waktu puluhan tahun untuk pulih. Jika dibiarkan, kerusakan ini berpotensi mengancam daya dukung kawasan konservasi TNK dan menggerus industri pariwisata Manggarai Barat yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah,” ujarnya.

Keterkaitan dengan persoalan pengelolaan TNK juga tidak dapat dipisahkan. Buruknya pengaturan tracking, perubahan zonasi tanpa kajian ekologis memadai, dan lemahnya pengendalian aktivitas wisata telah memperlihatkan pola komersialisasi kawasan konservasi yang mengabaikan prinsip dasar perlindungan ekosistem. Tambang ilegal di Sebayur Besar hanyalah puncak dari akumulasi persoalan tata kelola tersebut.

Karena itu, WALHI NTT menuntut:

1. Penghentian total aktivitas penambangan dan penutupan permanen lokasi tambang di Pulau Sebayur Besar.

2. Audit menyeluruh perizinan, termasuk izin yang pernah diterbitkan dan dugaan keterlibatan oknum dalam pembiaran aktivitas ilegal.

3. Penegakan hukum tegas terhadap pelaku, pemodal, dan pihak yang memberikan perlindungan.

4. Investigasi terpadu oleh KLHK–ESDM–Aparat Penegak Hukum untuk memastikan tidak ada aktivitas tambang ilegal lain di gugusan pulau sekitar TNK.

5. Pemulihan ekologis berbasis kajian ilmiah independen, dengan memastikan kerusakan terukur dan rencana pemulihan berjangka panjang.

6. Transparansi publik atas tindak lanjut seluruh instansi terkait.

7. Evaluasi menyeluruh tata kelola TN Komodo, termasuk penataan tracking, penzonaan, pengawasan pulau-pulau penyangga, serta pengelolaan pemanfaatan ruang yang selama ini tidak konsisten dengan prinsip konservasi.

Menurut Elkelvin Wuran, kasus pertambangan ilegal di Pulau Sebayur Besar merupakan peringatan keras tentang rapuhnya tata kelola lingkungan hidup di Nusa Tenggara Timur, khususnya di kawasan strategis seperti Manggarai Barat dan TN Komodo.

Operasi sporadis atau respons reaktif tidak cukup untuk menghentikan kerusakan yang terjadi. Negara memiliki mandat hukum dan konstitusional untuk melindungi pulau-pulau kecil dan kawasan konservasi—mandat yang harus dijalankan tanpa kompromi.

“WALHI NTT menegaskan bahwa pulau kecil tidak boleh ditambang. Di wilayah seperti Sebayur Besar dan gugusan pulau sekitar Komodo, nilai ekologis jauh melampaui nilai ekonomi yang hendak diambil dari perut bumi. Reformasi tata kelola TN Komodo dan kawasan penyangganya merupakan prasyarat mutlak agar kasus serupa tidak terulang,” tutupnya.

 

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *