Dikeroyok DPR, Prof Mahmud MD Tantang Balik Anggota DPR Soal Transaksi Janggal 349 Triliun

Avatar photo

Jakarta, Okebajo.com, – Rapat Komisi III DPR RI dengan Ketua Komite Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sekaligus Menko Polhukam Mahfud MD selama delapan jam soal transaksi janggal Rp349 triliun yang digelar di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).

RDPU tersebut beberapa kali diwarnai hujan interupsi saat Mahfud menyampaikan pemaparan di awal. Selama rapat, sebagian besar anggota komisi IIII DPR RI mencecar alasan Mahfud mengungkap laporan hasil analisis keuangan PPATK terkait transaksi janggal di Kemenkeu. Padahal laporan itu mestinya hanya berhak disampaikan ke Presiden dan DPR

Salah satu Anggota Komisi III DPR-RI, Benny K Harman mengusulkan agar DPR-RI membentuk panitia khusus (Pansus) guna mengusut dugaan transaksi janggal sebesar Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tersebut.

“Kalau memang terjadi, saya rasa panggil Sri Mulyani. Kalau bisa bentuk Pansus lebih pas lagi supaya kita lebih mendalam. Masuk lebih jauh, masuk lebih dalam,” Tegas Politisi Demokrat asal Nusa Tenggara Timur.

BKH juga menegaskan agar kasus tersebut tidak boleh ditutup-tutupi oleh siapapun. Ia mengatakan pengusutan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus itu juga diungkap ke publik.

“Tapi jangan ke mana-mana. Jangan singgung soal TPPU, judi dan sebagainya. Fokus ke TPPU di lingkungan Kemenkeu saja, sebab ini sentrum keuangan negara kita,” kata BKH.

“Kalau yang diumumkan Pak Mahfud Rp349 triliun di lingkungan Kemenkeu di bea cukai dan pajak. Tapi TPPU di sana itu terjadi luar biasa,” tambahnya.

Tak hanya itu BKH uga meminta agar DPR bisa memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk dimintai klarifikasinya soal temuan yang diungkapkan Mahfud.

Pasalnya, Benny mengatakan kabar Sri Mulyani dibohongi oleh anak buahnya dalam kasus ini patut untuk diklarifikasi lebih jauh.

“Kalau betul bapak sampaikan ini, saya minta kita undang sri mulyani. Setuju ?. Jangan lama-lama maksud saya. Besok ya besok. Supaya tau siapa yang melakukan pembohongan publik,”Tutupnya

Mengutip Kompas.com, dalam rapat yang berlangsung cukup “panas” ini, Mahfud selaku Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) membeberkan alasannya membongkar laporan transaksi janggal tersebut beserta asal-usulnya.

Mahfud Mengklaim, Ia berwenang mengungkap dugaan transaksi mencurigakan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu ke publik selama tidak menyampaikannya secara detail.

“Saya mengumumkan kasus itu adalah sifatnya agregat, jadi perputaran uang, tidak menyebut nama orang, tidak menyebut nomor akun,” kata Mahfud

Mahfud mengaku paham bahwa undang-undang melarang pejabat terkait mengungkap identitas orang, nama perusahaan, hingga nomor akun pihak yang diduga terlibat tindak pidana.

Oleh karenanya, sejak awal dia tak pernah menyinggung nama atau identitas lainnya, tetapi hanya nominal dugaan transaksi janggal sebesar Rp 349 triliun.

“Saya enggak nyebut nama. Yang nyebut nama inisial bukan saya, Bu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) tadi. Itu nanti tanyakan ke beliau, itu justru salahnya di situ,” ujarnya.

Mahfud pun menegaskan, dirinya punya wewenang untuk menerima atau meminta laporan dari PPATK mengenai dugaan transaksi mencurigakan karena posisinya di Komite TPPU.

Mahfud justru heran dengan sejumlah anggota DPR yang meributkan pernyataannya sampai-sampai menyinggung pasal pidana soal pembocoran dokumen rahasia TPPU yang dimuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Padahal, lanjut Mahfud, membuka dugaan kasus pidana ke publik bukan sesuatu yang baru dan menjadi hal wajar selama sesuai dengan ketentuan perundangan.

“Dan ini sudah banyak ini, kok Saudara baru ribut sekarang? Ini sudah banyak diumumkan kok Saudara diam saja sejak dulu?” tuturnya ke para anggota Komisi III DPR.

Asal-usul transaksi mencurigakan Dalam kesempatan ini, Mahfud juga membeberkan asal-usul transaksi mencurigakan yang diidentifikasi oleh PPATK.

Mahfud mengatakan, asal transaksi janggal itu terbagi ke tiga kelompok, salah satunya transaksi keuangan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar Rp 35 triliun.

“Satu, transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kementerian Keuangan, kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi XI menyebut hanya Rp 3 triliun, yang benar Rp 35 triliun,” kata Mahfud dalam rapat dengan Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023)

Ia melanjutkan, ada pula transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain sebesar Rp53 triliun.

Kemudian, ada transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan pegawai Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan TPPU yang belum diperoleh datanya sebesar Rp 261 trilun.

“Sehingga jumlahnya sebesar Rp 349 triliun, fix,” ujar Mahfud.

Mahfud menambahkan, ada 491 aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu yang terlibat dalam transaksi-transaksi janggal tersebut. Ia menyebutkan, dari jumlah tersebut, ada yang merupakan bagian dari jaringan kelompok Rafael Alun, eks pejabat pajak yang diduga melakukan pencucian uang.

“Jangan bicara Rafael misalnya, Rafael sudah ditangkap, selesai, loh di laporan ini ada jaringannya, bukan Rafaelnya,” kata Mahfud.

Beda data dengan Sri Mulyani

Data yang dipaparkan oleh Mahfud berbeda dengan data yang disampaikan Sri Mulyani di hadapan Komisi XI DPR pada Senin (27/3/2023). Ketika itu, Sri Mulyani menyebut bahwa tidak semua laporan dugaan transaksi janggal itu berkaitan dengan pegawai Kemenkeu.

Dari laporan PPATK yang berisi kompilasi 300 surat dugaan transaksi janggal, cuma 135 surat yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pegawai Kemenkeu. Nilainya “hanya” sekitar Rp 22 triliun.

“Bahkan Rp 22 triliun ini, Rp 18,7 triliun itu juga menyangkut transaksi korporasi yang enggak ada hubungan dengan Kementerian Keuangan,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/3/2023)

“Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kementerian Keuangan itu Rp 3,3 triliun. Ini 2009 hingga 2023, 15 tahun seluruh transaksi debit-kredit dari seluruh pegawai yang diinkuiri tadi, termasuk penghasilan resmi transaksi dengan keluarga, transaksi jual beli aset, jual beli rumah, itu Rp 3,3 triliun,” tuturnya.

Perbedaan data ini pula yang akhirnya dipersoalkan anggota Komisi III DPR dalam sesi tanya jawab bersama Mahfud dalam rapat kemarin.

Oleh sebab itu, Komisi III DPR pun mengagendakan rapat lanjutan yang rutur mengundang Sri Mulyani.

“Perbedaan inilah yang akhirnya akan kita dalami kita mengundang sekaligus dengan Menteri Keuangan, Pak Menko dan PPATK untuk menyinkronisasi hasil laporan yang dimiliki oleh Pak Menko sebagai ketua komite nasional TPPU dengan Bu Menteri Keuangan,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni selepas rapat.

Adapun Sri Mulyani absen dalam rapat kemarin karena sedang memimpin pertemuan Menteri Ekonomi se-ASEAN di Bali.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *