Opini  

Labuan Bajo Menuju Keuskupan (1)

Avatar photo
Labuan Bajo Menuju Keuskupan
Gereja Paroki Roh Kudus Labuan Bajo. Foto/Istimewa

OKEBAJO, Labuan Bajo ||

Geografis, Penduduk, Pencaharian & Bahasannya

KEUSKUPAN Labuan Bajo meliputi seluruh wilayah Kabupaten Manggarai Barat. Pendirian Kabupaten Manggarai Barat menjadi wilayah otonom baru diresmikan pada tanggal  7 Juli 2003, melalui UU RI No. 8 Tahun 2003. Dari sudut budaya, pemekaran kabupaten tersebut tidak merubah sistem kebudayaan Manggarai yang telah turun-temurun merupakan satu sistem kebudayaan yang tidak terpisahkan.

Penduduk asli di Kabupaten Manggarai Barat umumnya adalah suku Manggarai, Flores, Bajo dan saat ini ada pula suku pendatang lainnya seperti Jawa dari Pulau Jawa, Suku Bugis dari Sulawesi Selatan, suku Bima dari Nusa Tenggara Barat dan suku lainnya.

Wilayah Manggarai Barat meliputi daratan Pulau Flores bagian Barat dan beberapa pulau kecil di sekitarnya, seperti Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Seraya Besar, Pulau Seraya Kecil, Pulau Boleng, Pulau Longos dan sebagainya.

Letak Geografis

Manggarai Barat memiliki luas  wilayah 294,746 Ha. Luas daratan 2.947,50 km², sedangkan luas wilayah lautan 6.052,50 km². Secara geografis Kabupaten Manggarai Barat terletak di antara  08°.14 Lintang Selatan – 09°.00 Lintang Selatan dan 119°.21 Bujur Timur – 120°.20 Bujur Timur.

Wilayah Kabupaten Manggarai Barat menunjukkan ketinggian yang bervariasi, yakni kelas ketinggian kurang dari 100 m dpl, 100 – 500 m dpl, 500 – 1000 m dpl dan di atas 1000 m dpl. Lebih dari 75% wilayah berketinggian di atas 100 m dpl. Kemiringan lerengnya bervariasi antara 0-2%, 2-15%, 15-40% dan diatas 40%.

Gereja Paroki Maria Bunda Segala Bangsa (MBSB) Wae Sambi Labuan Bajo. Foto/Istimewa.

Namun secara umum, wilayah bertopografi berbukit-bukit hingga pegunungan. Iklim dan curah hujan tidak merata. Besarnya curah hujan tahunan rata-rata sekitar 1500 mm/tahun, sehingga secara umum iklim bertipe tropik kering/semi arid. Curah hujan tertinggi terdapat di pegunungan yang mempunyai ketinggian di atas 1000 meter di atas permukaan laut, sedangkan curah hujan pada daerah-daerah lain relatif rendah.

Batas-batas wilayah Kabupaten Manggarai Barat adalah ; sebelah timur : Kabupaten Manggarai, sebelah barat : Selat Sape, sebelah utara : Laut Flores, sebelah selatan : Laut Sawu (nttprov.go.id).

Kabupaten Manggarai Barat

Pada awal berdirinya Kabupaten Manggarai Barat terdiri dari 7 Kecamatan, yaitu : Kecamatan Komodo, Boleng, Sano Nggoamg, Lembor, Welak, Kuwus dan  Macang Pacar.

Pada tahun 2011 ada penambahan 3 Kecamatan baru, yakni : Kecamatan Ndoso, Lembor Selatan, dan Mbeliling. Setelah itu ada penambahan 2 Kecamatan baru, yakni Kecamatan Pacar dan Kuwus Barat. Sehingga jumlahnya menjadi 12 Kecamatan.

Kabupaten Manggarai Barat beribukotakan Labuan Bajo. Labuan Bajo berasal dari kata ‘Labuhan’ yaitu tempat yang dijadikan berlabuh dan ‘Bajo’ adalah orang-orang yang berasal dari  suku Bajo. Jadi, Labuan Bajo artinya tempat berlabuhnya orang-orang suku Bajo

Sejarah Labuan Bajo tidak lepas dari Flores, Pulau ‘Cabo de Flores’ dalam bahasa Portugis.

Catatan tertua tentang Labuan Bajo ditemukan tahun 1862 (Taufiqur Rohman). ‘Cabo de Flores’ bermakna Tanjung Bunga, diberikan oleh S.M.Cabot untuk menyebut wilayah Timur Flores.

Sejak tahun 1636, nama Flores kemudian dipakai secara resmi oleh Gubernur Jenderal Belanda, Hendrik Brouwer. Nama asli dari Flores adalah Nusa Nipa yang berarti Pulau Ular.

Catatan tertua yang menyebut nama Labuan Bajo terdapat dalam sebuah laporan berjudul Koloniale Jaarboeken Maanschrift tot Verspreiding van Kennis der Nederlansche en  Buitenlandshe Overzeesche Besittingen oleh Jacques Nicolas Vosmaes (tahun 1862) dilaporkan sebuah perjalanan laut menuju  “Laboean Badjo”.

Arti Labuan Bajo secara bahasa

Labuan Bajo memiliki arti  tempat berlabuhnya suku Bajo. Suku bangsa ini merupakan kelompok etnis nomaden di laut. Berasal dari Kepulauan Sulu di Filipina  yang bermigrasi ratusan tahun lalu ke Sabah  dan ke seluruh penjuru dunia hingga ke Madagaskar. Suku Bajo di Indonesia telah banyak yang beradaptasi budaya dengan masyarakat lain. Sebagian besar tidak lagi hidup nomaden. Mereka hidup dengan menetap di pesisir pantai dengan hunian yang sederhana.

Dulu wilayah ini di bawah kekuasaan Bima. Di Labuan Bajo pada zaman dulu, ada yang menjadi perpanjangan tangan Sultan Bima yang disebut Naib. Di Manggarai Raya ada beberapa Naib seperti di Bari, Reo dan Pota. Dari keempat Naib tersebut, Naib di Reo yang berkedudukan lebih tinggi.

Nama-nama beberapa tempat di Labuan Bajo berasal dari bahasa Bima, seperti : Nanga Nae : Nanga artinya Muara  dan Na’e adalah besar, berarti muara yang besar atau sering disebut nanga mese dalam bahasa Manggarai. Sernaru  dari  Sera dan Naru artinya cirit atau kotoran panjang. Dulu di tempat ini banyak kerbau. Sepanjang jalan penuh dengan cirit atau kotoran kerbau yang bersambungan sepanjang jalan.  Makanya diberi nama Seranaru Raja Sahe yang artinya rajanya kerbau.

Sebagian besar penduduk Manggarai Barat berprofesi sebagai petani. Bahasa ibu yang dipakai di Manggarai Barat secara umum adalah bahasa Manggarai tetapi memiliki berbagai dialeg seperti : Kolang/Rego, Lembor, Kempo, Matawae, Welak dan sebagainya.

Karya Misi di Wilayah Manggarai Barat 1912 – 1920 : Labuan Bajo Sebagai Gerbang Masuknya Iman Katolik

Misionaris pertama yang mengunjungi orang Katolik di  Manggarai Barat adalah Pastor Engbers, SJ. Beliau, seorang misionaris Jesuit. Bertugas  sebagai Pastor tetap  di  Sikka.

Pada tanggal 14-19 Juni 1911 dengan menumpang kapal kapten De Kock, ia datang dari Maumere, Reo dan  ke Labuan Bajo. Dia mengunjungi orang Katolik asal Larantuka yang bekerja sebagai penyelam mutiara di Labuan Bajo.

Suku-suku yang mendiami Labuan Bajo saat itu menganut agama asli (kafir) dan Islam. Selain itu ada pula para pendatang yang mau menetap di Labuan Bajo seperti suku Bajo, Bonerate, Butung dan Selayar. Mereka hidup berdampingan. Membaur secara damai. Akrab sebagai saudara dalam semangat kebersamaan dan kekeluargaan.

Selain  merayakan Ekaristi Kudus bersama beberapa orang Katolik yang pada waktu itu bisa terhitung dengan jari, Misionaris ini juga berencana membuka Sekolah Rakyat sebagai tempat untuk berkumpul  dan tempat belajar anak-anak pada masa itu.

Impian tersebut terwujud pada  hari Jumat, 12 Januari 1912 secara resmi membuka Sekolah Rakyat pertama di wilayah Manggarai Barat dan sekolah yang kedua  untuk Manggarai Raya dengan nama Sekolah Rakjat Laboean Bajo.

Karya misi di Labuan Bajo

Kehadiran sekolah ini merupakan langkah awal karya Misi di Labuan Bajo. Sebab para guru yang ada, selain mendidik murid di sekolah, juga berfungsi mewartakan Kabar Gembira kepada  masyarakat sekitar.

Seorang guru dari Manado bernama Randang menjadi guru pertama yang mengajar di sekolah tersebut. yang turut membantu saat itu adalah guru Yohanes Fernandes (Nani) dan Fransiskus (Siku) asal Larantuka.

Murid yang memasuki sekolah tersebut sangatlah terbatas. Tahun pertama hanyalah anak-anak Dalu  dari Kempo, Bajo, Wontong, Welak, Boleng, Nggorang, Matawae dan Mburak. Pada tahun ajaran kedua juga termasuk anak-anak dari Gelarang . Pada tahun ajaran ketiga anak-anak Kepala Kampung juga bisa masuk. Dan pada tahun ajaran ke 4 barulah anak-anak rakyat biasa boleh memasuki sekolah tersebut. Sekolah di Labuan Bajo kemudian pimpinanya adalah guru Gregorius Fernandes pada tahun 1917, saat guru Randang mutasi ke Riung.

Datangkan Guru dari Larantuka

Dengan bukanya Sekolah Rakyat ini, mereka mendatangkan para guru dari Larantuka, seperti Guru Wolo, Guru Goris Fernandez dan sat itu aga juga Guru Agama (Pemimpin Doa) yang turut membantu seperti Om Begu, Om Klezang dan Om Ritha sampai tahun 1973.

Sejak 20 Juli  1914, wilayah Misi Flores mereka alihkan penggembalaannya dari Serikat Jesuit ke SVD.  lalu masuk ke dalam wilayah Prefektur Apostolik Sunda Kecil dengan Mgr. Petrus Noyen, SVD sebagai Prefek Apostolik.

Pusat Prefektur Apostolik

Ia memutuskan Ndona menjadi pusat Prefektur Apostolik (pindah dari Lahurus Atambua) karena letaknya  strategis untuk pengembangan misi di Nusa Tenggara. Dari Ndona, ia mulai membuat kunjungan (turne atau patroli)  ke seluruh wilayah prefektur baik di Flores maupun di Timor dan juga mengunjungi sekolah-sekolah Katolik yang Misi kelola.

Pada tahun 1914, Mgr. Noyen  mengunjungi Reo, Labuan Bajo dengan motor laut dan kemudian ke Ruteng dengan berkuda.  Pada November 1915, Mgr Noyen kembali mengadakan turne panjang dari Ndona menunggang kuda ke Jopu, Lela dan Maumere. Pada 7 November ia menumpang Kapal KPM (Koninklijke Pakketwaart Maatscappi) dari Maumere menuju Reo dan  Labuan Bajo dan dari Labuan Bajo berkuda ke Ruteng.

Pastor SVD Pertama di Larantuka

Pada Mei 1915, Pater Willem Baack, SVD beralih dari Atapupu ke Flores. Ia menjadi Pastor SVD pertama yang bertugas di Larantuka untuk menggantikan para misionaris Yesuit. Tugas pokok yang Ia emban adalah sebagai Inspektur Sekolah Misi. Masa tugasnya di Larantuka hanya 3 tahun (beliau meninggal tanggal 22 Desember 1918 karena wabah Spanyol – Spaanese griep). Namun sebelum meninggal dunia, ia menjalankan banyak karya pioner pastoral dan pendidikan.

Pater Willem Baack, SVD mengadakan Inspeksi selama 3 kali ke wilayah Flores Barat. Inspeksi pertamamulai berjalan pada bulan Agustus 1915, mulai di Wae Mokel, Borong, Sita, dan tiba di Ruteng pada 23 Agustus 1915. Di Ruteng, ia mengadakan inspeksi sekolah, merayakan ekaristi, membaptis dan memberkati perkawinan, Dari Ruteng P. Baack turun ke Reo, kemudian menggunakan perahu motor Gezaghebber Dannenberger ke Labuan Bajo, kembali ke Reo menuju Pota, kembali ke Reo dan dengan kapal KPM ke Maumere.

Orang Pertama Menerima Sakramen Permandian

Dalam buku stambok Paroki Rekas, orang Manggarai Barat yang pertama menerima sakramen permandian di Labuan Bajo adalah Stephanus Obong (dari Rengkas Kempo)  dan Dominikus Ma’an  (dari Mantang) oleh P. Willem Back pada tahun 1916.

Tahun 1917 Pastor Willem Back, SVD selaku Inspektur Sekolah Rakyat berkunjung ke Labuan Bajo dan melakukan Perayaan Ekaristi Kudus di gedung sekolah bersama keluarga Katolik yang ada. Pada Rabu, 5 September 1917, usai Misa Kudus, Pastor Willem Back, SVD membaptis 6 orang umat :
DAMIANUS TIMOSUGI, seorang dewasa keturunan Jepang. YOANA FLORIS dan ROFINUS MANUEL, 2 orang anak dari keluarga Larantuka. ANDREAS HADANIA, FELICIA dan YOSEF, 3 orang anak dari keluarga Bonerate.

Karena Labuan Bajo pada waktu itu bagian dari wilayah Misi Rekas, maka keenam umat yang menerima sakramen permandian itu terdaftar juga di Buku Stambook Rekas.

Pada kunjungannya sebagai Inspektur di sekolah-sekolah, Pater Willem Back, SVD juga mengunjungi wilayah Macang Pacar. Kemungkinan untuk survei rencana pembukaan sekolah  di Bari atau Pacar dan  membaptis  PHILIPUS DAHA (dari Pacar) sebagai orang Katolik yang pertama di wilayah itu.

Pada Tahun 1920, P. Jansen, SVD dan P. Glanemann, SVD mengunjungi Labuan Bajo dan mempermandikan PETRUS NGANTAK berasal dari Kampung Kandang, Matawae dan ANDREAS LONGKOM dari Munting, Bajo.

Pada tahun yang sama beliau juga berpatroli di wilayah Regho dan mempermandikan 2 orang kakak perempuan dari mantan Dalu Regho (Stef Pongkor), yaitu BERNADETA BUNGKUH dan MARIA NENE.

Pada tahun 1923, Vikaris Apostolik Mgr. Arnoldus Verstralen, SVD mengunjungi Labuan  Bajo. Pada tahun ini umat bertambah menjadi 32 orang. ***

Bersambung…

*) Penulis, Fransiskus Ndejeng. (Seksi HAK Dewan Pastoral Paroki Roh Kudus Labuan Bajo. Dan Yosef Min Palem (Sekretaris Dewan Pastoral Paroki Maria Bunda Segala Bangsa Wae Sambi Labuan Bajo).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *