Labuan Bajo | Okebajo.com | Konsep pariwisata inklusif sebetulnya dilatari oleh kenyataan bahwa berwisata itu merupakan ‘hak’ semua orang. Itu berarti semboyan utamanya adalah ‘pariwisata untuk semua’.
Subyek yang hendak diakomodasi dan diafirmasi dalam ide pariwisata itu adalah kelompok difabel (mereka yang punya kemampuan berbeda dan berkebutuhan khusus). Tegasnya, spot dan aktivitas pariwisata harus ‘ramah’ untuk semua kalangan, termasuk kaum difabel.
Bupati Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT), Edistasius Endi menyebut Festival Golo Koe (FGK) di Labuan Bajo menjadi momen pariwisata inklusif di destinasi super prioritas tersebut. Hal itu ditegaskan bupati Edi ketika menghadiri opening ceremony FGK yang berlangsung di Marina Water Front (MWF), seperti yang dilansir antaranews.com, Kamis (10/8/2023).
Sisi inklusivitas yang dimaksudkan Bupati Edi dipatok dari derajat partisipasi publik lokal dalam aktivitas kepariwisataan. Bahwasannya ukuran kesuksesan pariwisata bukan terlihat dari banyaknya wisatawan atau hingar bingar industri pariwisata, melainkan keterlibatan masyarakat lokal menjadi subyek seluruh perhelatan kepariwisataan.
Dengan perkataan lain, tingkat keterlibatan publik sebagai ‘aktor utama’ dalam pasar pariwisata, dipandang sebagai parameter inklusifisme itu. Semakin banyak warga lokal yang terlibat, maka pariwisata sudah memperlihatkan karakter inklusifnya.
Ketika ada banya umat (warga lokal) yang mengambil untung dalam pergelaran FGK, maka hal itu dilihat sebagai momentum perwujudan pariwisata yang inklusif. Tetapi, sebenarnya sisi inklusivitas itu tidak hanya berkaitan dengan tingkat partisipasi sebagai ‘pelaku bisnis’, tetapi juga berhubungan dengan ‘akses’ yang terbuka untuk semua kalangan. Pertanyaannya adalah apakah spot wisata dan aktivitas turisme di Mabar dalam FGK ini bisa ‘diakses’ oleh kaum difabel dan kaum lanjut usia (lansia)? Apakah pariwisata Mabar ramah terhadap penyandang disabilitas?
Hemat saya, konsep pariwisata inklusif itu, tidak berkorelasi dengan pelaksanaan FGK. Dengan perkataan lain, FGK tidak bisa dianggap sebagai momen penerapan pariwisata yang inklusif. Inklusifisme dalam pariwisata, membutuhkan good wiil yang dimanifestasikan dalam bentuk pengambilan kebijakan publik yang pro terhadap hak semua golongan untuk merasakan kegiatan wisata.
Seperti yang kita ketahui bahwa Pemerintah Kabupaten Mabar telah terlibat dalam pembukaan Festival Golo Koe di Labuan Bajo yang diinisiasi oleh Keuskupan Ruteng dan bahkan menjadi salah satu ‘pendukung utama’, selain Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF). Keterlibatan dua elemen ini, tentu saja tidak merepresentasikan keterlibatan publik itu sendiri.
Bupati Edi menilai kehadiran festival yang menjadi kegiatan tahunan itu harus digarisbawahi sebagai momen pariwisata inklusif yang mana semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dan berkembang.
Gagasan ini, pada level ‘keterlibatan’ dalam berbisnis, mungkin ada benarnya sebab melalui FGK, semua orang mendapat ruang yang sama untuk ‘terlibat’. Tetapi, apakah keterlibatan sesaat itu dianggap sebagai momentum hidupnya pariwisata yang inklusif?
Benar bahwa festival yang berlangsung mulai tanggal 10 Agustus sampai 15 Agustus 2023 itu tidak hanya melibatkan umat dari Labuan Bajo, melainkan umat dari paroki yang ada di wilayah Manggarai dan Manggarai Timur. Namun, keterlibatan dan pelibatan itu bersifat seremonial dan momentual.
Memang, pada kesempatan itu, bupati Edi mengajak masyarakat pada tiga Manggarai Raya untuk terlibat aktif dan menjadi subyek dalam kegiatan pariwisata Labuan Bajo. Imperasi etis-politis semacam itu, tentu menjadi sebuah keharusan. Tetapi, saya berpikir, sebagai pemimpin di Kabupaten ini, bupati Edi mesti mengambil langkah kebijakan yang serius agar konsep pariwisata inklusif, bisa terwujud di Mabar.
Dengan tegas Bupati Edi berkata: “Di tengah kemajuan pariwisata yang ada di Labuan Bajo, jangan pernah rela kita menjadi penonton atau hanya menjadi obyek di tengah kemajuan pariwisata. Kini jadi momen luar biasa agar terwujud kesejahteraan dan kemajuaan bersama”.
Hal yang sama disampaikan oleh uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat, Pr. Beliau menjelaskan menjelaskan motif penyelenggaraan FGK di Labuan Bajo agar umat tidak hanya menjadi penonton dari gebyar-nya pariwisata Labuan Bajo.
Festival itu menjadi bentuk partisipasi gereja bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mendorong umat di tiap paroki dan orang muda untuk mulai menciptakan lapangan kerja yang akan membuka akses ke pariwisata.
Festival yang dilaksanakan selama lima hari itu diisi dengan berbagai pameran UMKM, pertunjukan musik, pagelaran budaya, perarakan patung, dan ditutup dengan misa akbar.
Hari ini, Selasa (15/8/2023) merupakan ‘hari terakhir’ pelaksanaan FGK. Sebuah perayaan Ekaristi meriah dan kolosal, digelar di Marina Water Front (MWF). Berharap, pasca FGK, ciri inklusif dari pariwisata di Mabar, termanifestasi dengan baik. Inklusifitas pariwisata, tidak hanya berurusan dengan ‘sisi bisnis’, tetapi juga kesempatan untuk menikmati aktivitas wisata di berbagai spot wisata yang ada. Pariwisata Mabar mesti ramah dan bisa diakses oleh semua lapisan dan golongan masyarakat, termasuk kaum difabel.
Oleh: Sil Joni*
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.