Labuan Bajo, Okebajo.com – Kuasa hukum ahli waris almarhum Ibrahim Hanta, DR. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H., mengimbau Haji Ramang agar tidak terlibat dalam sengketa tanah seluas 11 hektar di Keranga, Labuan Bajo. Sengketa ini sedang berlangsung antara keluarga ahli waris almarhum Ibrahim Hanta (penggugat) dan keluarga Niko Naput (tergugat), dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat sebagai pihak turut tergugat.
Indra Triantoro menjelaskan bahwa alasan di balik imbauan ini adalah karena posisi tanah obyek sengketa ini tidak ada kaitan dengan Haji Ramang. Selain itu Haji Ramang pernah mengakui adanya surat pembatalan tanah adat pada tahun 1998. Pengakuan ini disampaikan saat Haji Ramang menjadi saksi dalam sidang Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Kupang, terkait kasus korupsi aset tanah Pemda Manggarai Barat beberapa waktu lalu.
“Kami mohon dan mengimbau kepada Haji Ramang untuk tidak terlibat dalam permasalahan ini. Jika posisi tanah obyek sengketa berkaitan dengan Haji Ramang, tentu kami sudah akan melibatkannya sebagai tergugat atau turut tergugat. Namun karena tidak ada kaitan hukumnya atas obyek sengketa ini maka kami juga tidak melakukan upaya hukum terhadap Haji Ramang,” tegas Indra Kamis, 13/6/2024.
Indra juga menambahkan bahwa selama persidangan di Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada 30 Mei, 6 Juni, dan 12 Juni 2024, fakta-fakta yang terungkap semakin menambah kompleksitas kasus tanah di Keranga. Nama Haji Ramang terus disebut oleh saksi-saksi dari pihak tergugat dan turut tergugat, menimbulkan pertanyaan mengenai keterlibatannya siapakah sebenarnya Haji Ramang?.
“Karena nama Haji Ramang selalu disebut dalam persidangan oleh tergugat dan turut tergugat, maka kami selaku pihak penggugat juga bertanya-tanya siapakah ini Haji Ramang? Apa kapasitasnya Haji Ramang?. Oleh karena itu, kami mengimbau agar jika tidak ada hubungan hukum, ia tidak ikut dalam masalah ini. Sengketa ini sudah jelas, ada surat pembatalan yang diakui Haji Ramang dalam sidang Tipikor di Kupang, yang sudah berkekuatan hukum tetap. Jika pernyataan yang sudah ia akui berubah dan menganulir fakta-fakta persidangan, kami akan melaporkan Haji Ramang secara pidana terkait dugaan memberikan keterangan palsu,” lanjut Indra.
Indra menegaskan bahwa pihaknya telah memiliki bukti pernyataan Haji Ramang dalam sidang Tipikor di Kupang beberapa waktu lalu.
“Kami telah konfirmasi dengan kuasa hukum Agustinus CH. Dulla, mantan Bupati Manggarai Barat bahwa benar Haji Ramang mengakui surat dari Ishaka tanggal 17 Januari 1998 terkait pembatalan penyerahan tanah ulayat 10 Maret 1990 dengan luas 16 hektar atas nama Nasar Nupu dan pembatalan surat penyerahan tanah adat 21 Oktober 1990. Pernyataan ini tercatat dalam BAP dan sudah diputus di pengadilan. Dengan adanya pembatalan 17 Januari 1998 ini juga bukti yang mempertegas bahwa pihak tergugat atas nama Maria Fatmawati Naput dan Paulus G. Naput tidak punya dasar hukum untuk menerbitkan SHM tahun 2017,” jelas Indra.
Indra menegaskan bahwa sangat jelas Berdasarkan pasal 242 KUHP terkait keterangan palsu dijelaskan bahwa “(1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Ketika dikonfirmasi oleh media ini, Kamis, (13/6/2024) sore, Haji Ramang menolak memberikan keterangan lebih lanjut. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak bersedia diwawancarai atau menjadi saksi dalam kasus ini.
“Jadi gini, dalam masalah tersebut, saya tidak bersedia untuk diwawancara. Kalau mau mendapatkan informasi itu, silahkan langsung tanyakan ke pihak bersangkutan,” Ujar Hj. Ramang
“Terkait ada pihak yang menyebutkan nama saya dalam persidangan itu hak mereka lah. Tetapi saya tidak mau untuk memberikan informasi terkait masalah itu. Jangan sampai nanti ada informasi yang tidak sesuai kehendak mereka saya nanti menjadi orang yang mau disalahkan. Saya tidak mau seperti itu,” tutupnya
Hal senada juga disampaikan Surion Florianus Adu, yang akrab disapa Feri Adu, salah satu masyarakat ulayat Kedaluan Nggorang, Labuan Bajo, Manggarai Barat, dengan tegas mewanti-wanti fungsionaris adat Nggorang untuk bersikap netral pada kasus sengketa tanah keranga ini.
Feri menuturkan bahwa di tengah berlangsungnya konflik kepemilikan lahan antara ahli waris keluarga Niko Naput dan ahli waris almarhum Ibrahim Hanta, baik di ranah perdata maupun pidana, anak dan cucu Dalu Nggorang Ishaka serta Wakil Dalu Haku Mustafa diimbau untuk tetap bersikap netral. Mereka diharapkan tidak menerbitkan surat pengukuhan atau dokumen serupa yang dapat menimbulkan kesan keberpihakan dalam sengketa ini.
“Mengingat konflik ini sangat terkait dengan sejarah kepemilikan lahan yang terjadi pada saat orang-orang dan para penata yang dimandatkan masih hidup, kebenaran seluruh dokumen serta fakta-fakta penguasaan lahan oleh para pihak yang bersengketa akan diuji di persidangan,” tegas Feri Adu.
Ia berharap agar anak dan cucu dari Dalu dan Wakil Dalu, selaku fungsionaris adat Nggorang, tidak menjadi bagian dari salah satu pihak yang bersengketa.
“Harapan saya ya, sebaiknya, mereka harus membiarkan seluruh kebenaran serta fakta-fakta terungkap dalam persidangan,” imbuhnya
Feri juga mengingatkan tentang pernyataan kedaulatan Fungsionaris Adat tanah ulayat Nggorang di wilayah Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT pada tanggal 1 Maret 2013.
“Dalam pernyataan tersebut disebutkan bahwa “Tanah adat ulayat Nggorang yang sudah dibagi dan diserahkan kepada penerima, sejak terjadinya penyerahan tanah adat secara ‘kapu manuk lele tuak’, tidak lagi menjadi hak fungsionaris ulayat.” Jadi Konsistensi terhadap pernyataan ini harus dijaga agar seluruh sengketa yang terjadi bisa dibuktikan dalam persidangan,” ujarnya
Feri Adu, sebagai warga kelahiran Labuan Bajo dan anggota masyarakat Kedaluan Nggorang berharap agar semua pihak tetap menjaga netralitas dan keadilan dalam proses penyelesaian sengketa tanah ini.
Berita media ini sebelumnya bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat telah menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) pada tahun 2017 di lokasi yang sedang bersengketa. Sudah ada 2 Sertifikat Hak Milik atas nama Paulus G. Naput dan Maria F. Naput. Sementara pihak BPN Manggarai Barat dan pihak tergugat hingga saat ini tidak bisa menunjukan Warkah asli penyerahan tanah adat yang diperlukan sebagai dasar penerbitan sertifikat.
Selain itu, pada tanggal 8 Januari 2024, pihak penggugat melaporkan kasus ini ke Satgas mafia tanah Kejaksaan Negeri Labuan Bajo.
Menanggapi laporan tersebut, pada tanggal 16 Januari 2024, tim dari Kejaksaan Negeri Labuan Bajo yang dipimpin oleh Kasi Pidsus Bapak Wisnu Sanjaya, S.H., bersama tim BPN Manggarai Barat yang dipimpin oleh Kasi Sengketa Bapak Putu dan Bapak Jonas, turun ke lokasi untuk memeriksa tanah tersebut dan mencocokkan lokasi dengan Warkah atau bukti penyerahan tanah adat pada tanggal 2 Mei 1990.
“Dari hasil pemeriksaan tersebut, tim BPN dan tim Kejari sepakat bahwa kedua tanah atas nama Paulus G. Naput (pihak tergugat 1) dan Maria F. Naput (pihak tergugat 2) tersebut terbukti salah lokasi, salah ploting, atau salah penunjukan batas-batas. Lokasi sebenarnya berdasarkan peta warna merah seluas 16 Ha, bukan di peta warna hijau yang merupakan lokasi tanah milik penggugat seluas 11 Ha,” tutup Indra. **