Labuan Bajo, Okebajo.com – Untuk membuktikan Notaris Bily Ginta sebagai aktor dalam pembuat dokumen akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan menggunakan dokumen surat kepemilikan tanah yang tidak sah antara Niko Naput (pihak penjual) dan Erwin Kadiman Santosa (pihak pembeli) harus diuji secara pidana.
“Untuk diuji secara pidana ya Bily Ginta segera dilaporkan ke polisi. Sebab, kalau diproses secara pidana maka yang ditekan dalam pengujian bahwa ada atau tidaknya tindak pidana adalah pembuktian materil,” kata pengamat hukum dan juga dosen Fakultas Hakum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta, Dr. Siprianus Edi Hardum, S.H., M.H., kepada persnya, Rabu (5/6/2024).
Menurut pria yang dipanggil Edi ini, pembuktian secara materil artinya tidak hanya menilai apa yang tertulis atau dokumen tertulis tetapi keterangan-keterangan para saksi mengapa adanya dokumen tertulis itu.
Menurut Edi, banyak orang termasuk oknum notaris terjerat dengan Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat dan Pasal 266 KUHP tentang memasukan keterangan tidak benar ke dalam akta. Pasal 263 KUHP, kata Edi, umumnya disebut sebagai induk dari segala bentuk perbuatan yang disebut pemalsuan surat.
Ada dua perbuatan yang dilarang dalam rumusan pasal 263 itu (1) perbuatan membuat surat palsu. Yakni membuat surat yang isinya tidak sesuai dengan kenyataan. (2) Perbuatan yang dilarangnya adalah memalsukan surat. Memalsukan surat adalah membuat tiruan dari sebuah surat. Jadi ada tiruan, ada aslinya lalu dibuat jadi dua.
Kalau menurut pembuat surat palsu, ya aslinya adalah surat palsu itu sendiri. Jadi tidak ada bandingannya. Jadi yang palsu adalah substansinya.
Alumnus S3 Ilmu Hukum Universitas Trisakti Jakarta ini mengatakan, pasal 263 untuk pemalsuan surat ini, hanya ditujukan kepada empat kategori surat, pertama, surat-surat yang menimbulkan satu hak. Jadi dengan surat itu timbul hak tertentu bagi orang lain. Kedua, surat-surat yang menimbulkan perikatan. Jadi dengan adanya surat itu orang lain adanya perikatan dengan pihak lain lagi. Ketiga, surat-surat yang membuktikan satu hal. Yang dibuat untuk membuktikan satu hal. Jadi hal-hal apa saja yang menimbulkan suatu pembuktian. Keempat, surat-surat mengakibatkan dihapusnya piutang.
“Jadi pasal 263 KUHP ini hanya ditujukan kepada 4 jenis pemalsuan itu tadi,” kata dia.
Selanjutnya, kata Edi, mengenai Pasal 266 KUHP. Pasal 266 objeknya bukan surat, tetapi akta. Jadi surat-surat yang dimaksud dalam Pasal 263 adalah surat-surat yang dibuat bukan oleh pejabat. Kalau Pasal 266 karena disebutnya akta maka yang dibuat oleh pejabat umum. Perbeadaannya dalam 266 itu yang palsu itu adalah keterangan yang ditempatkan di dalam akta itu.
“Unsurnya memalsukan keterangan palsu ke dalam akta otentik,” kata dia.
Jadi, ada orang yang meminta kepada pejabat pembuat akta untuk dibuatkan sebagai yang di dalamnya dia tempatkan keterangan yang tidak benar, keterangan palsu. Jadi kepalsuannya ada pada keterangannya itu sendiri. Keterangannya yang ditempatkan di dalam akta itu.
“Inilah delik yang dirumuskan dalam pasal 266 KUHP,” kata Edi.
Menurut Edi, yang merupakan advokat dari kantor hukum “Edi Hardum dan Partners” ini, baik Pasal 263 maupun Pasal 266 keduanya adalah delik formil.
“Artinya delik formil adalah tidak membutuhkan pembuktian adanya akibat,” kata dia.
Menurut Edi, jadi yang dibuktikan adalah perlakuan-perlakuan yang dilarang saja oleh undang-undang. Memang di dalam pasal 263 dan 266 itu ada unsur, jika pemakaian akta atau surat itu dapat menimbulkan kerugian.
“Kata dapat ini menunjukan ini delik formil. Artinya potensi kerugian tadi sudah cukup,” kata alumnus S2 Ilmu Hukum UGM ini.
Edi mengatakan, Bily Ginta perlu dilaporkan ke polisi untuk membuktikan, pertama, apakah ia melanggar Pasal 263 KUHP atau melanggar Pasal 266 KUHP, atau justru melanggar kedua-keduanya.
“Kedua, kalau Bily Ginta dijerat dengan dua pasal tersebut di atas, bisa dipastikan Bily Ginta melakukan itu tidak sendirian. Saya yakin ada banyak pihak yang terlibat,” tegas pria asal Manggarai, NTT ini. **