Secuil Kenangan Terakhir Bersama Romo Jonsy

Okebajo.com, – Bulan lalu (26 September) kami ke Paroki Waning. Ada kegiatan di Desa Waning dan Puskesmas Waning.

Setelah selesai kegiatan, kami diundang Romo Jonsy utk makan malam di Pastoran Paroki.

Sebelum kami tiba di Pastoran, ayam panggang, sopi Waning dan Bir telah disiapkan Romo untuk menjamu saya dan rombongan.

Kami makan malam dan minum seperlunya untuk menghangatkan badan. Seperti biasanya, kamipun bercerita penuh nostalgia. Mengalir hingga jauh malam.

Robert Perkasa dan Marsel Lukman pun tidur di Paroki bersama Romo. Saya dan pak Harun serta kawan lain, memilih nginap di rumah keluarga yang terpaut 100 meter dari Pastoran Paroki.

Paginya, Romo tak lupa kasih oleh oleh untuk kami bawa pulang. Ada Kopi, ada gula merah (gola rebok), ada Sopi Waning.

Paroki Werang dan Romo Jonsy

Sebelum Romo Jonsy pindah tugas di Paroki Waning, ia bertugas di Paroki St. Klaus Werang-Sano Nggoang selama kurang lebih 8 tahun sejak tahun 2016.

Romo Jonsi dikenal sebagai Pastor Paroki yang penuh humor periang, tegas (spontan) dan bersemangat.

Kotbah-kotbah beliau selalu membuat umat tertawa lebar. Ia pandai menghidupkan suasana. Jarang umat “ngantuk” saat ia berkotbah.

Ia tampil penuh semangat. Ia juga terkenal sangat rajin melayani umat di pelosok manapun. Ia berkali kali jatuh motor saat melewati jalan buruk ketika melayani umat di kampung-kampung terudik.

Saya cukup dekat dengan Romo Jonsy. Kedekatan itu terutama dalam hubungannya dengan keberadaan Kapela yang kami bangun di Stasi St. Yosep Rangat.

Romo Jonsy suka musik. Ia bisa menyanyi dan juga bisa main gitar.

Ia disukai anak-anak muda karena ia pandai bergaul. Ia tahu caranya menyenangkan umat yang suka minum mabuk. Ia tahu cara menjinakkan umat nakal dan malas ke gereja.

Dengan “gaya lenturnya” ia bisa bikin umat yang sebelumnya suka pamer “tato” simbol “kejantanan” menjadi tunduk bahkan hingga “melengkung”.

Romo Jonsi termasuk yang tekun mengajak umatnya untuk menanam tanaman Porang (ndege). Saat di Werang, ia bahkan punya kebun khusus dan ditanami Porang dalam jumlah banyak. Dalam setiap kunjungannya ke kampung-kampung ia selalu mengajak umat untuk tanam Porang. Maka ia lalu kerap disapa sebagai “Tuang Ndege”.

Romo Jonsi pergi terlalu cepat. Ia baru berusia 53 tahun. Saya tak pernah mendengar riwayat jantung. Kesan saya, beliau sangat amat sehat karena selalu tampil energik.

Romo, buku saya yang berjudul “Berdoa + Bekerja = Berhasil” belum sempat saya kirim ke Waning, sebagaimana yang saya janjikan sebelumnya.

Dalam buku itu, namamu kusebut juga. Sayang, engkau tak sempat membacanya.

Terima kasih Romo Jonsi. Engkau salah satu Gembala yang patut dicontohi. Walau suaramu keras, tapi hatimu lembut.

Beristirahatlah bersama para kudus di Sorga. Dan biarkanlah engkau tetap menjadi pendoa bagi kami semua.
RiP ase Tuang. *(Bernadus Barat Daya)
Romo Jonsy Itu Inspirator

Tanggal 26 September kemarin, Romo Jhonsy menyambut kami di Pastoran Paroki Waning. Ia melayani kami dengan tulus penuh kasih sayang.

Malam itu kami ngobrol sangat ceria di ruangan tamu bahkan berlanjut sampai di meja makan.

Keesokan paginya seusai misa pagi, (sebelum sarapan) Romo mengajak kami ngobrol lagi di pendopo samping Gereja lama hingga di meja makan.

Sembari seruput kopi pagi, Romo juga sempat membuka Kitab Suci lalu menunjuk beberapa ayat Masmur. Romo menyarankan saya untuk selalu membaca ayat-ayat tersebut. Suasana sukacita itu masih kuingat jelas.

Saat kami pamit, Romo memberikan kami oleh-oleh sopi Waning, gula rebok dan biji kopi. Bahkan Romo beri saya uang rokok.

Suasana suka cita itu ternyata menjadi KENANGAN terakhir.

Umatnya mencintai Romo Jonsy dengan tulus hati sebagaimana ia mengasihi umatnya….

Tak terkira air mata yang tumpah berlinang meratapi kepergian sang gembala yang baik hati..

Tidak hanya di Paroki Waning. Umat dari Paroki St.Klaus Werang pun merasa sangat terpukul dengan peristiwa duka yang sangat mendadak ini.

Mereka merasa sangat kehilangan seorang sosok yang penuh cinta. Romo Jonsy lebih dari sekadar Imam Katolik. Umat menganggap dia sebagai seorang bapa, keluarga teman dan sahabat yang senantiasa hadir di setiap suasana suka dan duka umatnya.

Lebih dari itu. Romo Jonsy “hidup di hati” mereka. Ia hadir menyapa umatnya. Ia datang mengetuk pintu hati umatnya sembari mengajak mereka untuk beraksi mulai dari hal kecil.

Ia masuk ke lingkungan orang muda. Makan dan minum bersama di satu meja. Ia paham dan mengerti dunia orang muda.
Romo Jonsy adalah Gembala yang tekun, inspiratif dan suriteladan.

Ia datang di rumah umatnya. Ia kerap memgunjungi kampung-kampung. Ia ada di sawah-ladang petani. Ia mengerti suka duka petani di kampung-kampung.

Romo Jonsy bagi mereka adalah inspirator. Motivator ulung. Perannya lebih dari sang Gembala.

Ia adalah sosok Imam Katolik yang berkomitmen dan konsisten membela orang kecil.

Romo…..kapankah kita bersama lagi ? Kapan kita ngobrol lagi? Kapan kita bernyanyi lagi? Kami semua rindu suara khas darimu.

Romo….terima kasih atas segala kebaikan hatimu. Saya sangat bersyukur karena ada nama dan wajahmu di setiap halaman buku diary kehidupanku dan keluargaku.

Selamat Jalan. Romo Jonsy…..Doa dan air mataku ini mengiring kepergianmu. *Rest In Peace. (Robert Perkasa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *