Labuan Bajo, Okebajo.com – Keluarga besar keturunan pasangan almarhum Ibrahim Hanta dan almarhumah Siti Lanung menggelar sebuah ritual adat dan doa bersama di tanah warisan mereka yang terletak di Kerangan, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT Pada Sabtu, 21 Desember 2024 pagi.
Ritual ini tidak hanya sekadar upacara tradisional, tetapi juga sebuah perjuangan untuk mempertahankan kebenaran dan hak atas tanah yang telah menjadi saksi bisu perjalanan hidup keluarga mereka sejak puluhan tahun lalu.
Yakobus Syukur, selaku Tua Adat yang memimpin ritual adat tersebut mengungkapkan bahwa inti dari upacara ini adalah memohon agar arwah almarhum Ibrahim Hanta dan Siti Lanung, beserta anak-anak mereka yang telah berpulang, turut hadir dalam upaya mempertahankan hak atas tanah tersebut.
“Kami memohon kepada Tuhan agar mereka yang telah meninggal dapat membantu kami melawan segala bentuk ketidakadilan yang merenggut tanah kami. Mereka yang sudah berada di alam yang tak terlihat akan bekerja di sisi kami, membantu kami yang masih di dunia,” ujar Yakobus
*Sejarah Tanah Warisan yang Menjadi Sengketa*
Tanah seluas 11 hektar yang kini menjadi pusat ritual tersebut, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan keluarga Ibrahim Hanta dan Siti Lanung sejak tahun 1973. Mereka mengolah tanah tersebut dengan kerja keras, bertani jagung, memelihara kambing, serta menanam kelapa, nangka, dan jambu mente. Semua itu dilakukan dengan penuh kasih dan keikhlasan semasa hidup mereka dalam pondok sederhana yang mereka bangun sendiri. Tanah ini diperoleh melalui proses hukum adat yang disebut “kapu manuk lele tuak” dari Hj. Ishaka, seorang fungsionaris ulayat Nggorang.
Pada tahun 1986 Ibrahim Hanta dan istrinya Siti Lanung meninggal dunia. Kemudian sejak saat itu, pengolahan lahan 11 ha ini dilanjutkan oleh anaknya, Nadi Ibrahim, dll keluarga turunan Ibrahim Hanta. Ketika mengurus SHM tanah tersebut ke BPN sejak tahun 2018, maka demi kebutuhan administrasi di BPN, dibuatlah Surat Keterangan Perolehan Hak Januari 2019 oleh Kuasa Penata Adat, Hj.Adam Djuje, yang menerangkan bahwa tanah ini sudah dimiliki alm. Ibrahim Hanta sejak tahun 1973.
Namun, sejak tahun 2014, ketenangan mereka terusik oleh klaim yang datang dari Nikolaus Naput dan Santosa Kadiman, yang mengklaim tanah tersebut sebagai milik mereka. Klaim tersebut mengarah pada terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM) yang mencantumkan nama anak-anak Niko Naput, meskipun tanah tersebut telah lama dikelola oleh keluarga Ibrahim Hanta.
“Ritual adat dan doa bersama ini dihaturkan karena pengolahan tanah pertanian ini mulai tak nyaman karena intervensi klaim hak Nikolaus Naput, orang bukan anggota masyarakat adat Nggorang sejak 2014. Pada awal tahun itu Niko Naput mengklaim memiliki tanah 40 hektar di Torolema / Kerangan, dan melakukan akta perikatan jual beli (PPJB) dengan pembeli dari Jakarta bernama Santosa Kadiman. Dan tanpa sepengetahuan pemilik yang sedang mengolah tanah 11 ha nya, tiba-tiba sudah ada sertifikat tanah hak milik (SHM) atas nama anak-anak Niko Naput di atas tanah itu seluas 5 ha lebih. Santosa Kadiman kemudian diketahui sebagai orang yang mau mendirikan hotel St. Regis di lokasi itu, yang gunting pita peletakan batu pertama pendiriannya dibuka oleh Gubernur Viktor B. Laiskodat tahun 2022”, kata Jon Kadis, S.H, Penasihat Hukum ahliwaris IH yang turut hadir pada ritual adat-budaya dan doa bersama ini.
Mikael Mensen salah satu orang tua dalam keluarga Ibrahim Hanta menerangkan bahwa pihak keluarga Ibrahim Hanta telah mengalami berbagai intimidasi, penipuan, dan ancaman yang membuat mereka terpaksa memperjuangkan hak mereka melalui jalur hukum.
Dugaan Intimidasi
“Sejak tahun 2014 kami diintimidasi. Suatu ketika datang sekelompok orang beserta para preman yang kemudian kami tahu mereka adalah orang bayaran Niko Naput, untuk mengukur tanah, saat itu ikut juga Hj Ramang Ishaka, Camat Komodo dan Lurah Labuan Bajo. Kami mengusir mereka keluar,” terang Mikael
Surat palsu tandatangan orang mati
Mikael mengungkapkan, ketika pihaknya mau mengajukan sertifikat tanah ini di BPN Manggarai Barat mulai tahun 2018, menemui banyak hambatan. Pada waktu sidang mediasi 2020, orang BPN, bernama Herman “menghadang” dengan memperlihatkan surat penyerahan tanah oleh Ibrahim Hanta kepada Nikolaus Naput tahun 2019 sebagai alasan BPN untuk penerbitan SHM atas nama anak-anak dan ponakan Niko Naput. Dan itu surat palsu, yaitu surat tandatangan alm.Ibrahim Hanta yang sudah meninggal tahun 1986. Saat itu, Kepala Kantor BPN Manggarai Barat, Bapak Abel Asa Mau menyarankan keluarga Ibrahim Hanta untuk lakukan gugat secara perdata.
“Dari perkara perdata yang berproses di Pengadilan Negeri Labuan Bajo ternyata Niko Naput dan Santosa Kadiman mendasarkan klaim mereka di tanah 11 ha Ibrahim Hanta ini adalah bagian di dalam 40 ha itu, khususnya dari surat alas hak mereka 10 Maret 1990 dari Nasar Supu 16 ha. Dalam proses perkara, akhirnya ahli waris Ibrahim Hanta menang dan tetap sah memiliki 11 ha tanah Ibrahim Hanta ini,” tambah Jon Kadis.
Upaya Naik Banding
Keputusan PN Labuan Bajo yang memenangkan keluarga ahli waris Ibrahim Hanta tetap tidak diterima oleh Keluarga Niko Naput dan Santosa Kadiman. Mereka diduga tidak perduli dengan laporan hasil pemeriksaan Satgas Mafia Tanah Kejagung RI, bahwa 2 (dua) SHM yang diam-diam terbit atas nama anak Niko Naput di tanah Ibrahim Hanta ini tidak sah, termasuk juga 3 SHM yang tanahnya di luar batas tanah 11 ha, yaitu cacat yuridis, salah lokasi, tanpa alas hak. Kejagung RI juga sudah bersurat kepada Kementrian ATR/BPN tanggal 23/9/2024, tembusan kepada Kakan BPN di Labuan Bajo, agar 5 SHM tersebut dibatalkan, tapi BPN diduga pasif saja.
“Hal ini bisa diartikan sebagai upaya “membunuh kami”, karena waktu konflik diperpanjang. Ingat, sudah 10 tahun kami tidak mengolah tanah pertanian ini,” tegas Jon
Menurut Jon Kadis bahwa, Surat alas hak 10 Maret 1990 bagi anak-anak Niko Naput dan Santosa Kadiman adalah surat setan mafia. Mereka naik banding karena surat itu. Padahal surat itu tidak diakui satgas Kejagung untuk penerbitan ke-5 SHM itu.
“Batas-nya mereka tidak tahu saat sidang pemeriksaan setempat. Bahkan dapat diduga kuat surat alas hak 16 ha itu palsu bikinan mereka sendiri,” ungkapnya.
Ritual dan Doa: Mempertaruhkan Nyawa dan Kehormatan
Ritual adat dan doa bersama ini bukan hanya sekadar upacara, melainkan juga sumpah yang dituangkan dengan darah. Hewan kurban seekor kambing putih, ayam berbulu putih, dan ayam berbulu coklat, disembelih dan darahnya ditumpahkan ke tanah sebagai simbol sumpah yang mengikat mereka pada tanah leluhur ini. Sumpah ini menegaskan komitmen keluarga untuk mempertahankan tanah ini hingga akhir hayat, meskipun harus mengorbankan jiwa raga.
“Siapapun yang berani menyerobot tanah ini, mereka akan berhadapan dengan jiwa-jiwa orang tua kami yang sudah berada di alam yang lebih tinggi, dan lebih dari itu, mereka akan menghadapi Tuhan Yang Maha Adil,” tegas Yakobus, dengan keyakinan penuh pada kekuatan spiritual dan keadilan Tuhan.
Komitmen untuk Keberanian dan Kebenaran
Ritual adat dan doa yang dilaksanakan ini bukan hanya sekadar langkah spiritual, melainkan juga pernyataan tegas dari keluarga Hanta bahwa mereka siap berjuang hingga titik darah penghabisan.
“Ini adalah perjuangan untuk mempertahankan hak kami, melawan ketidakadilan, dan menjaga kehormatan tanah leluhur kami. Kami telah siap mati, darah kami akan tumpah di tanah ini jika diperlukan,” ujar Mikael Mensen
Jon Kadis menambahkan,“Ritual ini adalah pernyataan bahwa kami tidak akan mundur dari kebenaran. Dalam tradisi kami, ini adalah sumpah yang tak bisa diingkari. Siapa pun yang mencoba merampas tanah ini, akan menghadapi konsekuensi dari kekuatan alam semesta yang tak bisa dihindari.”
Ritual adat ini dihadiri oleh sekitar 60 orang anggota keluarga besar almarhum Ibrahim Hanta dan Siti Lanung, yang datang dari berbagai penjuru untuk bersatu hati dalam memperjuangkan tanah warisan mereka. Dengan penuh semangat dan keyakinan, mereka melantunkan doa bersama, mengharapkan campur tangan Tuhan dalam menjaga kebenaran dan melindungi tanah leluhur mereka dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Yakobus menuturkan bahwa dengan doa, darah, dan keyakinan yang mendalam, keluarga Hanta siap mempertaruhkan segalanya demi tanah yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan dan kehidupan mereka. Ritual ini menjadi simbol kekuatan spiritual mereka dalam menghadapi tantangan dan keadilan yang seharusnya ditegakkan. ***