Oleh: Siprianus Edi Hardum
Opini, Okebajo.com – Kamis, 20 Februari 2025, bisa dikatakan hari bersejarah. Betapa tidak, sebanyak 961 kepala daerah dilantik di Istana Negara, Jakarta. Yang melantik Presiden Prabowo Subianto. Para kepala daerah yang dilantik dari 33 gubernur, 33 wakil gubernur, 363 bupati, 362 wakil bupati (wakil bupati Ciamis terpilih meninggal telah meninggal dunia sebelum hari pemilihan), 85 walikota, 85 wakil wali kota yang berasal dari 481 daerah.
Namun, sayang dalam hari bersejerah ini, sebagaimana dikatakan Presiden Prabowo sendiri, Presiden menyampaikan pidato yang isinya kurang berisi bahkan dangkal. Dari isi pidatonya, saya menilai Presiden kurang memahami permasalahan yang terjadi di hampir semua daerah selama ini.
Pidato Presiden cukup berisi namun terlalu singkat dan dangkal. Presiden mengatakan,”…Saudara-sadaura berasal dari partai berbeda-beda. Telah melaksanakan kampanye yang tidak ringan. Telah turun ke rakyat, minta kepercayaan rakyat, dan berhasil raih kepercayaan rakyat. Sebab itu, atas nama negara dan bangsa Indonesia, saya mengingatkan para kepala daerah bahwa mereka adalah saudara-saudara adalah pelayan masyarakat. Harus mengabdi dan membela kepentingan rakyat. Berjuang untuk perbaikan hidup rakyat..”.
Saya tidak tahu, mengapa Presiden menyampaikan pidato begitu simple. Atau barangkali Presiden percaya kepada semua kepada daerah yang dilantik untuk menjabarkan kata-katanya,”… pelayan masyarakat. Harus mengabdi dan membela kepentingan rakyat. Berjuang untuk perbaikan hidup rakyat..” ? Barangkali !
Otonomi Daerah
Negara Indonesia dibentuk untuk melindungi semua rakyat Indonesia, mensejahterakan masyarakat dan mencerdaskan semua anak bangsa. Agar tujuan ini efektif dan efisien pelaksanaanya maka dibentulah otonomi daerah. Otonomi daerah harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, dan daya saing daerah. Otonomi daerah juga meningkat kuantitas dan kualitas pendidikan di daerahnya. Para kepala daerah berkoordinasi dengan polisi dan kejaksaan setempat agar memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat.
Korupsi Ganas
Salah satu tantangan utama bahkan hambatan utama Indonesia untuk maju adalah korupsi selain peredaran narkoba dan radikalisme agama. Korupsi ini bertumbuh subur di hampir semua daerah provinsi dan kabupaten saat ini. Jenis korupsi adalah dalam pelaksanaan infrastruktur, pengadaan barang dan jasa serta pengkatan para pejabat daerah seperti kepala sekolah SD, SMP dan SMA/SMK serta camat dan kepala dinas. Namun, seribu sayang, Presiden Prabowo tidak menyinggung hal ini dalam pidatonya. Atau jangan Presiden menganggap korupsi merupakan hal yang lumrah sebagai pendapatan utama kader Parpol yang menduduki jabatan kepala daerah ? Semoga tidak !
Mengutip laporan Indonesia Corruption Watch (Juni 2024), sekitar 791 kasus korupsi yang berhasil ditindak oleh aparat penegak hukum (Polri, KPK dan Kejaksaan) sepanjang tahun 2023. Kerugian negara akibat kasus-kasus korupsi itu mencapai lebih dari Rp 28,4 triliun.
Dalam laporan ICW itu, Provinsi Jawa Timur (Jatim) menempati urutan teratas dalam daftar wilayah dengan jumlah kasus korupsi paling banyak di tahun 2023. Akibat dari korupsi di Jatim itu negara dirugikan lebih dari Rp 172 miliar.
Berada pada urusan kedua provinsi terkorup tahun 2023 adalah Sumatera Utara dengan total 54 kasus, diikuti oleh Jawa Tengah dengan total 47 kasus, yang masing-masing menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 91 miliar dan Rp 207 miliar. Selanjutnya Sulawesi Selatan dengan total 46 kasus, dilanjut oleh NTT (37 kasus), Aceh (36 kasus), Jawa Barat (36 kasus), dan Sumatera Selatan (31 kasus).
APH Pemeras
Hal lain yang terjadi daerah sampai saat ini ini adalah tidak sedikit aparat penegak hukum (APH) seperti oknum pejabat Polri (Polda/Polres) melakukan pemerasan terhadap pelaku usaha dan pejabat daerah berkedok penegakan hukum.
Pejabat daerah seperti kepala dinas atau kepala bidang dan pelaku usaha dipanggil diperiksa atas laporan pelaku usaha lain yang mempunyai kenalan dengan oknum petinggi penegak hukum. Tujuan bukan benar-benar untuk menegakan hukum sebenar-benarnya tetapi untuk melayani pesanan dari pihak berduit. Akibatnya wajah penegakan hukum di daerah jadi “bopeng”.
Komitmen Presiden
Korupsi akan pelan-pelan hilang baik di tingkat kementerian maupun di daerah-daerah, tergantung dari komitmen (political will) dari Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kalau Presiden berantas korupsi, maka langkah yang diambil adalah, pertama, jadikan Lembaga Inspetorat di semua kementerian sebagai lembaga pengawas dan pencegah serta pemberantas tindak pidana korupsi. Begitu ada dugaan korupsi di kementerian pihak inspektorat berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum untuk diproses hukum.
Kedua, memerintahkan Menteri Dalam Negeri agar selalu memonitor semua kepala daerah supaya semua lembaga insipektorat di daerah mesti menjadi lembaga pengawas dan pencegah serta pemberantas tindak pidana korupsi. Selama ini, lembaga-lembaga itu hanya berfungsi sebagai stempel (rubber stump) atas semua tindakan menteri, dirjen dan para kepala daerah.
Ketiga, jadikan lembaga Polri mulai dari Mabes Polri sampai tingkat Polsek sebagai lembaga penegak hukum yang bersih dari korupsi. Keempat, jadikan lembaga kejaksaan mulai Kejaksaan Agung sampai dengan kejaksaan negeri sebagai lembaga professional dalam menegakan hukum. Lembaga Polri dan kejaksaan terutama di semua daerah harus hindari sikap terima sogokan dan memeras berkedok penegakan hukum.
Keempat, Presiden Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra agar memberi contoh kepada semua parpol agar tidak menunggangi aparat penegak hukum terutama Polri dan kejaksaan untuk ikut bermain dengan mafioso demi mendapatkan fulus untuk membesarkan partai politik (Parpol).
(Penulis adalah Doktor Ilmu Hukum, dosen di Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta dan Praktisi Hukum)
Catatan Redaksi : Semua isi tulisan dalam artikel ini menjadi tanggungjawab penuh dari penulis.