Labuan Bajo, Okebajo.com – Laporan dugaan pemalsuan dokumen yang diajukan oleh Muhammad Syair ke Polres Manggarai Barat kembali memanaskan sengketa tanah yang berlokasi di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, NTT. Laporan tersebut tidak hanya menuai kontroversi baru tetapi juga berpotensi membuka kembali luka lama terkait perkara tanah Pemda Manggarai Barat seluas 30 hektare di Torolema yang telah diputuskan inkrah sejak 2021.
Kasus ini memunculkan risiko besar berupa bumerang hukum terhadap berbagai pihak yang sebelumnya terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut.
Bumerang Hukum di Perkara Tipikor Tanah Pemda 30 Hektare
Dokumen pembatalan tanah adat tahun 1998 yang menjadi dasar laporan Muhammad Syair sebelumnya digunakan dalam kasus tindak pidana korupsi tanah Pemda Manggarai Barat. Saksi kunci kasus tersebut, Haji Ramang Ishaka, memberikan keterangan di persidangan dengan menyertakan dokumen tersebut sebagai bukti sahih, yang membantu memenangkan perkara dan mengembalikan tanah 30 hektare itu kepada Pemda.
Pengamat dari ruang publik yang juga salah satu anggota masyarakat adat Nggorang di Labuan, Florianus Surion Adu (disapa Fery Adu) menegaskan bahwa jika laporan Muhammad Syair yang mengklaim dokumen tersebut palsu terbukti benar, dampaknya sangat serius.
Menurut Feri, LP Muhamad Syair itu menjadi bumerang, senjata tembak balik bagi Kejaksaan Tinggi Kupang berkaitan dengan perkara TIPIKOR tanah Pemda yang sudah inkrah itu.
“Kita semua tahu kan, bahwa salah satu saksi kunci kesuksesan Tipikor tanah Pemda 30 ha di Torolema (bagian selatan Kerangan) Kelurahan Labuan Bajo adalah anak alm.Haji Ishaka. Ia anak turunan Ketua Fungsionaris ulayat Nggorang, yang memberikan kesaksian di ruang sidang, disertai dengan memperlihatkan bukti pembatalan 16 ha itu, juga surat pembatalan 10 dan 15 hektar Nikolaus Naput dan Beatrix Seran istrinya, sehingga tanah Pemda itu kembali ke posisi semula. Bupati Gusti Dula dan beberapa orang lagi masuk bui. Tanah 16 hektar itu terletak di dalam 40 ha PPJB itu”, kata Fery Adu.
Menurut Feri, dengan adanya LP Muhamad Syair ini, dimana polisi penyelidik di Polres Mabar diduga berkonspirasi memuluskan proses LP-nya, itu akan menghantam Haji Ramang Ishaka, Kejati, dan Pemda.
“Bumerang ! Haji Ramang bisa dihukum karena beri kesaksian palsu, Kejati dianggap tidak cermat yang berakibat perkara bisa dianulir, Pemda dan oknum-oknum Kejati bisa dipidana. Dan, anda tahu kan, bahwa yang sangat dirugikan oleh putusan perkara TIPIKOR itu adalah pihak Niko Naput dan Kadiman yang bikin akta PPJB 40 ha di Notaris Billy Ginta tahun 2014 itu. Patut diduga bahwa oknum polisi penyelidik di Polres Mabar berinisial NNB, berkolaborasi dengan pihak yang berkepentingan di PPJB 40 hektar itu. Oleh karena itu saya sebagai mitra kepolisian, berharap agar polres Mabar bekerja secara profesional sehingga masyarakat pencari keadilan masih mempercayai Polri”, tutupnya.
Dasar Laporan Muhammad Syair Dipertanyakan
Laporan Muhammad Syair yang terdaftar dengan nomor LP/B/148/X/2024/SPKT/POLRES MANGGARAI BARAT diajukan pada 3 Oktober 2024. Muhamad Syair menuduh adanya pemalsuan dokumen terkait surat keterangan pembatalan penyerahan tanah adat tanggal 17 Januari 1998 yang digunakan oleh ahli waris almarhum Ibrahim Hanta dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo. Ia mengklaim bahwa dokumen tersebut palsu baik isi maupun tanda tangannya.
Namun, pihak ahli waris Ibrahim Hanta membantah tuduhan tersebut. Salah satu tim Kuasa hukum mereka, Jon Kadis, SH., menilai laporan ini sebagai upaya kriminalisasi tanpa dasar hukum yang kuat. Ia menegaskan bahwa tanah seluas 11 hektare milik ahli waris Ibrahim Hanta telah dinyatakan sah oleh pengadilan, bukan karena dokumen pembatalan tahun 1998 tersebut, melainkan karena hak kepemilikan mereka yang jelas.
“Kalaupun dokumen itu dipertanyakan, tanah yang disengketakan tetap milik ahli waris Ibrahim Hanta. Bahkan, lokasi tanah yang diklaim oleh Muhammad Syair berada jauh di luar area tanah kami,” ujar Jon Kadis.
Keanehan dalam Penanganan Kasus
Selain isu substansi laporan, penanganan kasus ini juga menjadi sorotan. Laporan Muhammad Syair naik ke tahap penyidikan hanya dalam waktu singkat. Sebaliknya, empat laporan serupa dari pihak ahli waris Ibrahim Hanta yang diajukan sejak 2022 hingga kini belum menunjukkan perkembangan signifikan.
“Ada apa dengan Polres Manggarai Barat? Mengapa laporan dari Muhamad Rudini, cs mangkrak bertahun-tahun, sementara laporan baru dari Muhamad Syair langsung naik sidik? Ini jelas tidak adil. Padahal kalau mau dilihat, bahwa terduga Terlapor di LP Rudini lebih mudah untuk diproses, kenapa? Satgas Mafia Tanah Kejagung sudah dengan jelas menyebutkan salah lokasi, salah ploting, tanpa alas hak asli, cacat yuridis dan cacat administrasi,” kata Jon.
Keempat laporan yang dimaksud yakni ; LP/B/249/IX/2022 (13 September 2022), LP/B/79/VI/2024 (29 Juni 2024), LP/B/80/VI/2024 (29 Juni 2024), LP/B/124/VIII/2024 (26 Agustus 2024).
Merasa diperlakukan tidak adil, keluarga ahli waris Ibrahim Hanta kemudian melaporkan dugaan ketidakprofesionalan dan keberpihakan penyidik Polres Mabar ke Kadivpropam Mabes Polri. Laporan bernomor SPSP2/005488/XI/2024/BAGYANDUAN diajukan pada 14 November 2024 sebagai bentuk protes terhadap penanganan kasus yang dinilai tidak adil.
“Kami menduga ada skenario jahat yang dirancang untuk memojokkan ahli waris Ibrahim Hanta. Oknum perwira Polres Mabar berinisial NNB diduga memuluskan laporan Muhammad Syair, meskipun tidak relevan dengan tanah milik ahli waris,” ujar Jon Kadis.
Menurut Jon, pertanyaan atas keanehan kehadiran Muhamad Syair ini adalah ; apa kerugian dia dengan adanya surat itu? Apa hak dia atas tanah yang tercantum dalam surat itu?, apakah punya surat kuasa dari Haku Mustafa dan lainya untuk membuat laporan di polres manggarai Barat ? Apa ada keuntungan di pihak Muhamad Rudini dengan surat pembatalan itu? Tidak ada untungnya! Kenapa? Karena tanah dalam surat itu BERADA DI LUAR BATAS 11 ha tanah alm. Ibrahim Hanta. Apakah ia disuruh bos pemilik tanah 40 ha di PPJB itu, yaitu Kadiman?
“Coba kita tanya kepada Muhamad Syair, yang katanya tahu semua surat administrasi Fungsionaris adat/ulayat Nggorang, dan dia perlu jawab tegas hal-hal berikut ini : pertama, apakah surat perolehan Nasar Supu 16 hektar tanggal 10 Maret 1990 itu, asli atau palsu ? Kedua, tunjukkan dimana lokasi tanah 16 hektar itu? Di pulau Komodo kah? Di Pulau Rinca kah? Di Lembor kah? Dimana ! Ayo tunjukkan, turun ke lapangan !,” tegas Jon
Keanehan kedua: apa dasar pijakan hukum (legal standing) Muhamad Syair mengatakan surat pembatalan itu palsu? Kalau itu palsu, maka Muhamad Syair harus tunjukkan aslinya, sehingga dapat dibandingkan mana asli dan mana palsu. Kalaupun tidak ada. Ya surat perolehan tanah Nikolaus Naput dan Nasar Sopu itu “TIDAK ADA PENGARUHNYA”. Karena letak tanahnya itu jauh di luar tanah 11 ha milik ahli waris alm. Ibrahim Hanta.
Keanehan ketiga: Muhamad Syair tampak secara terbuka membantah adanya tanah Pemda Mabar 30 ha di Kerangan ! Lho koq bisa? Dari media berita kita baca, bahwa dari perkara Tipikor tanah Pemda tahun 2021 lokasi Torolema (di luar batas & bagian selatan tanah alm. Ibrahim Hanta) Pemda memperoleh kembali tanahnya, itu karena keterangan saksi tutunan Fungsionaris ulyat yang bernama Haji Ramang Ishaka dengan menggunakan surat batal itu.
Dijelaskan Jon, bahwa pembatalan itu diucapkan oleh salah satu saksi yang mewakili fungsionaris, Haji Ramang Ishaka, dibawah sumpah, yang dituangkan dalam berita acara sebagai salah satu dasar keputusan hakim. Dengan demikian, adalah tepat bila Muhamad Syair melaporkan Hj Ramang Ishaka ke Polisi, dan laporkan Pemda yang mengambil keuntungan dari surat pembatalan tersebut.
Muhamad Rudini, penggugat yang menang dalam perkara perdata No.1/2024 di PN Labuan Bajo merasa dikejar waktu dari Polisi, dan itu menimbulkan kondisi ketakutan baginya.
“Nafsu oknum polisi penyelidik NNB cs itu tampak seperti ini: pertama, panggilan kepada saya sangat singkat selang waktunya. Kedua, pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya tidak nyaman. Tentang dokumen dalam sidang-sidang perdata yang sedang berjalan, apalagi putusan belum inkrah. Ketiga, Saya juga menyampaikan LP jauh sebelumnya tanggal 26 Agustus 2024, yang terang benderang siapa yang harus dipanggil dan sudah kuat dugaan perbuatan melawan hukumnya, yaitu berdasarkan temuan Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung,” kata Muhamad Rudini, salah satu ahliwaris tanah 11 ha alm.Ibrahim Hanta yang bersama dengan turunan berhak mewarisi/ memiliki tanah orangtua mereka tersebut.
Namun sampai saat kata Rudini progres penanganan kasus masih berjalan di tempat.
“Memang itu kami maklumi, karena Kasatreskrim sebelumnya menginfokan agar tunggu putusan inkrah perdata. Itu kami hormati. Nah, begitu pihak sebelah tanggal 3 Oktober 2024 buat LP, malah gas ngebut sampai sidik. Dari surat panggilan 6 November 2024, hingga hari ini sudah panggilan ke-3. Saksi2 saya belum semuanya beri klarifikasi. Saksi-saksi saya koq sampai KTP, alamat, bahkan nomor telpon komplit, padahal Muhamad Syair tidak kenal mereka. Siapa lagi kalau bukan oknum polisi yang membantu ‘kan? Saat saya diperiksa, koq beberapa oknum polisi nimbrung ikut ngomong. Saya merasa diperlakukan tidak adil. Saya koq hormati alasan proses perdata yang belum inkrah, tapi kelompok oknum polisi di Polres Labuan Bajo ini justru tidak. Oleh karena itu saya melapor ke Propam Mabes Polri di Jakarta”, kata Rudini
Permintaan Penundaan Proses Pidana
Atas dasar itu Jon Kadis meminta agar proses pemeriksaan pidana harus dipending, menunggu putusan inkrah perdata bila obyeknya sama.
“Ada aturan hukumnya. Tahun ketentuan ini memang tahun lama, yaitu 1956, tapi hingga hari ini masih berlaku. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 (Perma No.1/1956), disebutkan dalam pasal 1, “Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata”, kata Jon Kadis
Ia menjelaskan bahwa kasus ini menjadi ujian besar bagi integritas hukum di Manggarai Barat. Masyarakat berharap agar pihak kepolisian bekerja secara profesional tanpa memihak kepentingan tertentu.
“Hukum seharusnya menjadi alat keadilan, bukan alat untuk menekan pihak-pihak yang tidak bersalah,” tutup Jon Kadis.
Melansir berita dari media flores.pikiran-rakyat.com yang diterbitkan pada 19 November 2024 dengan judul berita “Laporan Polisi Dugaan Pemalsuan Dokumen oleh Rudini CS Dilidik Polisi“, Mursyid Surya Candra selaku kuasa hukum Muhamad Syair menjelaskan bahwa langkah hukum yang ditempuh pihak Syair diambil karena ada beberapa hal yang diduga telah masuk dalam ranah pidana, diantaranya dugaan pengunaan dokumen palsu.
“Dokumen itu kita beri nama surat keterangan tertanggal 17 Januari tahun 1998. Dimana surat ini telah digunakan terlapor dalam satu sidang pidana perkara perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo yang mana isi suratnya diduga palsu baik isi maupun tanda tangan,” kata Mursyid Surya Candra, Selasa (19/11/2024) siang.
Dalam surat itu tertera beberapa nama dan tanda tangan yaitu Haji Ishaka dan Haku Mustafa selaku Fungsionaris Adat Nggorang dan juga bapak Yoseph Latif selaku Lurah Labuan Bajo serta Yos Vins Ndahur selaku camat komodo.
Namun demikian, surat itu dirasa janggal oleh pelapor Muhamad Syair selaku keturunan dari Haku Mustafa. Kejanggalan pertama dari segi tanda tangan, menurutnya tanda tangan dalam surat itu tidak identik dengan tanda tangan Haku Mustafa.
Kedua, kejanggalan isi surat. Setelah dilakukan pengecekan, ternyata surat itu tidak ada di arsip/dokumen fungsionaris adat Kedaluan Nggorang (sistem pemerintahan setingkat kecamatan adat Manggarai jaman dahulu).
Menjadi sangat aneh ketika orang yang mengeluarkan surat itu tidak memiliki arsip atau kopiannya. Kemudian diperkuat keterangan dari berbagai sumber soal dokumen pembatalan itu dan menyatakan tidak ada pembatalan,” pungkasnya.
Sementara dalam surat itu menerangkan adanya penyerahan tanah adat tahun 1991 kepada bapak Nasar oleh Haji Ishaka dan Haku Mustafa, kemudian tahun 1998 kemudian dibatalkan secara sepihak tanpa diketahui si Nasar.
“Karena itu, selaku pelapor sebagai keturunan Haku Mustafa dan merupakan pelaku fungsionaris Adat Nggorang, ia memiliki kapasitas menilai isi surat itu. Menurutnya tidak mungkin ada pembatalan sepihak terhadap penyerahan tanah adat yang sudah diserahkan tahun 1991,” terang Mursyid.
Dari penjelasan pelapor kata Mursyid, pembatalan setelah pembagian 7 atau 8 Tahun dari penyerahan, secara hukum adat tidak dibenarkan. Sehingga patut diduga, baik isi maupun tanda tangan telah dipalsukan oleh para mafia ini dan sejauh ini masih didalami oleh pihak Polres Manggarai Barat. **