Oleh: Sil Joni*
Opini | Okebajo.com | Tak butuh waktu lama bagi Marina Water Front (MWF) Labuan Bajo untuk menjadi salah satu spot wisata buatan ikonik di tanah Manggarai Barat (Mabar). Dalam satu dua tahun terakhir, MWF semakin populer dan tersohor. Kemasyhurannya sudah menembus sudut-sudut dunia.
Namun, popularitas yang meroket itu, hemat saya tidak jatuh begitu saja dari langit. Ada relasi simbiosis mutualisme antara MWF dengan pelaksanaan aneka event berskala nasional di tempat itu. Dengan kata lain, keterkenalannya merupakan resultante dari pelaksanaan aneka event itu.
Atas dasar itu, sangat menarik untuk ‘mengeksplorasi’ ide pembangunan MWF ini sebagai bagian dari filsafat pembangunan di wilayah perairan. Implementasi konsep pembangunan ‘kota perairan’ yang dikemas dalam nama Waterfront City dan keberadaan ‘area itu’ sebagai ikon kota Labuan Bajo, menjadi fokus tulisan ini.
Saya coba “melacak” apa sebenarnya Waterfront City itu dan apa pengaruhnya bagi perkembangan aktivitas pariwisata, ekonomi, dan budaya di Labuan Bajo.
Jauh sebelum konsep pembangunan bergaya ‘waterfront city’ diterapkan di Labuan Bajo oleh kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sebenarnya sudah ada beberapa kota modern yang berpredikat serupa di Indonesia, antara lain Palembang, Batam, Semarang dan Makasar.
Lalu, apa sebenarnya Waterfront City itu? Untuk mengelaborasi tema ini, saya mengacu pada tulisan yang dimuat dalam media Rumah.com. Dilansir dari jurnal ilmiah International Conference in Architecture and Urban Design di Albania, waterfront city merupakan pembangunan perkotaan yang berdekatan dengan sumber air seperti pantai, danau, sungai dan terdapat unsur alam lainnya seperti matahari, langit, tanaman hidup yang dianggap sebagai sumber daya yang unik dan tak tergantikan.
Mengacu pada definisi ini, maka rasanya Labuan Bajo sangat cocok dengan konsep pembangunan berbasis waterfront city itu. Kota ini terletak di bibir pantai. Hampir semua unsur untuk menjadikannya sebagai Waterfront City, sudah terpenuhi.
Apalagi, dalam konsepnya kota dengan desain Waterfront City, sangat selaras dengan pengembangan sektor pariwisata. Waterfront city diyakini memiliki daya tarik wisata yang tinggi. Kita tahu bahwa Labuan Bajo merupakan salah satu destinasi super prioritas yang digadang-gadang berkelas super premium di Indonesia.
Dari sisi historis, istilah Waterfront city disebutkan pertama kali pada abad ke-19 pada saat peremajaan kawasan industri di pesisir pantai San Fransisco, Amerika Serikat. Kemudian dilanjutkan oleh negara Dubai yang telah berhasil membangun kawasan kota yang menarik di area yang dikelilingi oleh perairan.
Seperti yang tertulis pada situs Kementerian PUPR Indonesia, Labuan Bajo merupakan salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Destinasi wisata super prioritas Labuan Bajo merupakan salah satu kawasan yang menggunakan konsep kota di tepi perairan. Labuan Bajo sudah terkenal hingga mancanegara.
Fasilitas yang ada di kawasan ini berkelas internasional. Terdapat hotel dan resort mewah yang memanjakan pengunjung dengan service kelas dunia. Selain itu, terdapat pula beberapa ruang terbuka untuk masyarakat umum agar bisa menikmati kawasan ini. Potensi pemandangan alam yang mengagumkan, yang menunjukkan keindahan matahari terbenam di sore hari, dengan pemandangan laut yang alami.
Pembangunan Waterfont City di Labuan Bajo sudah rampung. Upacara ‘peresmian’ bahwa tempat itu sudah siap digunakan oleh publik dan wisatawan, telah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Dengan itu, Marina Waterfront city menjadi salah satu “ruang publik terbuka” sekaligus salah satu spot wisata.
Kita tahu beberapa event resmi pun yang tidak resmi telah dihelat di tempat ini. Yang teranyar adalah Marina Waterfront City (MWC) menjadi ‘panggung utama” pergelaran seni tradisi dalam Festival Golo Koe yang diinisiasi oleh pihak Keuskupan Ruteng. Boleh dibilang, MWC tampil sebagai ‘satu ikon’ kota yang tentu mendatangkan keuntungan untuk warga kota.
Saya kira, selain sebagai lokus aktivitas kultural, MWC merupakan salah satu spot wisata kota yang ‘ramai’ dikunjungi wisatawan, baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Sebagai pusat aktivitas turisme, tentu akan berimbas pada pertumbuhan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Itu berarti, keberadaan MWC itu berpotensi mendongkrak pendapatan ekonomi warga kota.
Oleh sebab itu, diharapkan agar warga lokal bisa memperlihatkan skill dan kreativitas dalam menghasilkan produk kreatif yang bernilai jual tinggi dan terserap dalam pasar pariwisata.
Tidak salah jika kita memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada ‘pemerintahan Joko Widodo’ yang telah ‘mengendus sisi potensial’ dari keberadaan Labuan Bajo sebagai ‘kota perairan’.
Letak dan kondisi perairan itu, ternyata menghadirkan berkat bagi publik setelah ‘ditata’ seturut nafas perairan itu sendiri. MWF merupakan masterpiece dari pengambil kebijakan agar wilayah perairan Labuan Bajo mengalirkan rahmat ekonomi bagi penduduk lokal.
Betapa tidak. Sudah tidak terhitung berapa besar pendapatan yang diperoleh baik oleh pemerintah maupun oleh publik Mabar setelah MWF, menjadi ‘spot’ pergelaran pelbagai aktivitas bisnis dan turisme di sini.
MWF adalah ‘mata air ekonomi baru’ yang bakal tidak pernah kering meski ditimba secara terus-menerus. Bagi mereka yang kreatif, MWF adalah medium penyaluran dan pendayagunaan aneka produk kreatif dan ekonomis tersebut.
*Penulis adalah warga Mabar tinggal di Labuan Bajo.