Ruteng, Okebajo.com – Pakar Ilmu Hukum Pidana dari Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, Rian Van Frits Kapitan, memberikan pendapat tegas mengenai penetapan calon Bupati Manggarai, Maksi Ngkeros, sebagai tersangka oleh Sentra Penegakan Hukum (Gakumdu) Manggarai. Menurut Rian, keputusan tersebut sangat ceroboh dan tidak berdasar.
“Setelah saya kaji kata-kata yang diucapkan Bapak Maksi itu bukan kampanye hitam. Lha, kenapa kenapa Gakumdu terlalu ceroboh menetapkan beliau tersangka ? Miris juga,” kata Rian, Selasa (12/11/2024).
Rian sebelumnya memberikan keterangan sebagai ahli hukum dalam kasus ini pada Senin (4/11/2024), terkait tuduhan kampanye hitam yang diarahkan pada Maksi Ngkeros.
Menurut Rian, penerapan Pasal 187 ayat (2) jo Pasal 69 huruf b dan huruf c UU Pilkada terhadap Peserta Pilkada seyogyanya dilakukan dengan hati-hati dan sedapat mungkin dihindari dan kalimat “Ende-ema..,agu sanggen taung ase ka’en.., Pu’ung ce’e mai ho’on lite pande di’an Manggarai ho’o; Agu neka teing caan suara latang thia Bupati Heri Nabit (Bapa-mama, saudara/i, sekalian.., mulai dari sini kita buat baik Manggarai ini, dan jangan kasih satupun suara kepada Heri Nabit) dan Neka pilih hia kole tite, ai hia Heri Nabit poli pande hancuran Manggarai ho.o (jangan pilih dia lagi, karena dia Heri Nabit telah menghancurkan Manggarai ini)”, yang disampaikan dalam kampanye terbuka pada tanggal 07 Oktober 2024 di halaman rumah Gendang (rumah adat) Kampung Rampasasa, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Ri’i, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur bukanlah merupakan penghinaan, hasutan dan fitnah terhadap Heri Nabit sebagai Petahana.
Apakah statemen Maksi Ngkeros yang disampaikan dalam kampanye terbuka pada tanggal 07 Oktober 2024 di halaman rumah Gendang (rumah adat) Kampung Rampasasa, Desa Wae Mulu, merupakan penghinaan, hasutan dan fitnah terhadap Heri Nabit sebagai Petahana ?
Bahwa untuk menjawab pertanyaan ini, menurut Rian, hal utama yang harus diberi makna adalah pengertian penghinaan, hasutan dan fitnah. Apabila dilakukan interpretasi otentik dari penjelasan resmi UU Pilkada, maka tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut tentang apakah yang dimaksud dengan penghinaan, hasutan dan fitnah. Oleh sebab itu, harus dilihat maknanya menggunakan interpretasi gramatikal (menurut tata bahasa).
“Bahwa penghinaan menurut tata bahasa selalu diartikan sebgai perbuatan yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Kemudian fitnah merupakan suatu perbuatan yang bentuknya adalah menuduh seseorang telah melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan padahal diketahui oleh si pembuat fitnah bahwa hal itu tidak benar. Sedangkan pengertian hasutan menurut, Rian, lebih tepat apabila diartikan menggunakan metode interpretasi doktrinal, yakni mencari makna dari suatu kata dalam undang-undang dengan mengaitkanya pada makna yang diberikan melalui praktek peradilan yang ada,” jelasnya
Menurut praktik peradilan, hasutan/menghasut adalah mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut itu lebih keras daripada “memikat” atau “membujuk”, akan tetapi bukan “memaksa.
Menurut Rian, makna kata mengasut/hasutan dalam prektik peradilan ini dipengaruhi oleh komentar R.Soesilo terhadap norma Pasal 160 KUHP dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.
Ia mengatakan, penghinaan, fitnah dan hasutan dalam UU Pilkada tersebut mensyaratkan adanya kesengajaan sebab sesuai dengan rumusan unsur kesengajaan yang dirumuskan secara deskriptif normatif (perumusan langsung dalam delik) pada Pasal 187 ayat (2) UU Pilkada.
“Oleh karena itu, kesengajaan menjadi unsur yang wajib dibuktikan oleh penyidik Sentra Gakkumdu Manggarai untuk menentukan ada tidaknya mens rea pada diri pelaku penghinaan, fitnah dan hasutan dalam Pasal 69 huruf b dan huruf c UU Pilkada a quo,” jelas Rian
Ia mengaskan bahwa kesengajaan sebagai salah satu bentuk dari kesalahan dalam hukum pidana dibagi ke dalam beberapa bentuk.
Pertama, kesengajaan sebagai maksud, kedua, kesengajaan sebagai suatu kepastian dan ketiga kesengajaan sebagai keinsyafan (dolus eventualis). Namun oleh karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materil atau kebenaran yang sudah tidak terbantahkan lagi, maka Kami berpendapat bahwa bentuk kesengajaan yang harus diterapkan secara mutatis-mutandis oleh Penyidik adalah kesengajaan sebagai maksud.
Menurutnya, kesengajaan sebagai maksud artinya pelaku menghendaki dilakukannya penghinaan, fitnah dan hasutan tersebut serta akibat dari perbuatan itu juga dikehendaki dan diketahui secara sadar oleh pelaku.
Untuk mengetahui apakah pelaku menghendaki dan mengetahui perbuatan dan akibat dari perbuatannya tersebut, maka tidak cukup penentuan kesengajaan sebagai maksud itu hanya dipandang pada saat pelaku mengucapkan kalimat yang diduga menghina, memfitnah dan menghasut, tetapi yang harus dilihat adalah keadaan sebelum, saat dan setelah pelaku mengucapkan kalimat yang diduga menghina, memfitnah dan menghasut itu;
Rian menegaskan, penghinaan dan fitnah dimaksudkan untuk menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Kehormatan dan nama baik seseorang dalam ajaran ilmu hukum menyangkut dengan martabat manusia (human dignity). Sehingga penghinaan dan fitnah murni (pure) dimaksudkan untuk menyerang manusia secara personal/pribadi.
Rian berpendapat bahwa dalam pernyataan pada sesi kampanye terbuka tanggal 07 Oktober 2024 sebagaimana diuraikan pada latar belakang persoalan hukum di atas bukanlah suatu penghinaan dan fitnah, sebab dua kalimat a quo dilandasi atas penilaian kinerja Heri Nabit dalam jabatannya sebagai Bupati Manggarai sebelumnya (Petahana).
Sebagai Calon Bupati yang sebelumnya menjabat dan kemudian kembali maju dalam Pilkada Kabupaten Manggarai, Heri Nabit tidak dapat diposisikan setara calon lain yang bukan Petahana, sebab prinsip dasar dalam demokrasi selalu terbuka ruang untuk menilai kinerja seorang Petahana sebagai materi dalam kampanye. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Hard, bahwa perlakukan yang berbeda dibolehkan dalam hukum asal didasarkan pada kondisi yang berbeda.
“Bahwa kendatipun Heri Nabit merupakan salah satu Calon Bupati Manggarai sehingga sesuai dengan rumusan norma Pasal 69 huruf b dan huruf c UU Pilkada, namun dua kalimat tersebut telah ternyata disampaikan dalam konteks menilai kinerja yang bersangkutan pada saat menjabat sebagai Bupati Manggarai, sehingga tidaklah tepat dikategorikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan dan nama baik Heri Nabit sebagaimana yang dipersyaratkan dalam tindak pidana Penghinaan dan fitnah yang telah Kami jelaskan di atas,” tegas Rian
Bahwa lagi pula dalam perkembangan ilmu hukum pidana dewasa ini, kata dia, kritik yang menyangkut dengan kepentingan umum tidaklah dapat dipidana. Kepentingan umum menurut ilmu hukum adalah kepentingan bangsa dan negera/daerah.
“Saya berpendapat bahwa dua kalimat tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, sebab dalam dua pernyataan tersebut terdapat frasa “Manggarai Telah Hancur Dan Mari Kita Buat Baik Manggarai Ini”, kata dia.
Bahwa rumusan “menghasut” itu, kata dia, secara ekspresif verbis telah diatur dalam Pasal 160 KUPidana dengan kualifikasi delik hasutan membuat keonaran yang merupakan jenis delik formil, artinya suatu perbuatan pidana yang tidak diperlukan akibat yang timbul dari hasutan itu, asalkan ada kalimat berupa hasutan, maka pelaku sudah dapat dipidana.
Ia menambahkan, perumusan delik dalam Pasal 160 KUHP itu sebagai delik formil membawa implikasi yang luas dalam bidang penegakan hukum pidana, sebab orang dapat diproses hukum tanpa pembuktian yang kompleks tentang kalimat yang dianggap menghasut itu. Akan berbeda jika perumusannya berbentuk sebagai delik materiel, maka pembuktiannya harus dilihat apakah hasutan itu dilakukan oleh orang-orang yang dihasut ataukah tidak (akibat).
Rian mengatakan, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor: 7/PUU-VII/2009, tanggal 22 Juli 2009 (lihat konklusi putusan) telah menegaskan bahwa tindak pidana menghasut a quo merupakan delik materiel, maknanya harus menimbulkan akibat berupa berhasilnya hasutan tersebut.
“Bahwa salah satu prinsip dasar dalam melakukan penafsiran undang-undang pidana adalah prinsip exceptio firmad regulam, artinya penafsiran undang-undang pidana harus selalu menguntungkan terlapor, tersangka dan terdakwa,” ungkapnya
Oleh karena itu, Rian berpendapat bahwa menghasut dalam norma Pasal 69 huruf c harus diinterpretasi sistematis dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 7/PUU- VII/2009, tanggal 22 Juli 2009, sebab konteksnya adalah kedudukan Heri Nabit sebagai Petahana/mantan penguasa yang dinilai tidak merealisasikan janji kampanye periode sebelumnya saat menjabat sebagai Bupati Manggarai.
“Implikasinya tindakan menghasut dalam UU Pilkada tersebut mesti ditafsirkan sebagai delik materiel. Karena bersifat delik materiel maka belum dapat disimpulkan akibat dari ajakan untuk tidak memilih Heri Nabit a quo berhasil ataukah tidak,” kata dia.
Ia menambahkan, untuk menentukan kesengajaan dalam penghinaan, fitnah dan menghasut yang harus dilihat adalah keadaan sebelum, saat dan setelah pelaku mengucapkan kalimat yang diduga menghina, memfitnah dan menghasut itu.
Rian berpendapat bahwa pada saat menyampaikan dua kalimat tersebut oleh salah seorang Calon Bupati Manggarai terlebih dahulu yang bersangkutan mendapat pengaduan dari para pendukungnya di Kampung Rampasasa, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Ri’i, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sehingga pada saat disampaikan dua kalimat a quo bukanlah merupakan suatu perbuatan yang disengaja melainkan suatu kewajiban sebagai Calon Bupati dalam menjawab keluhan dari para pendukungnya yang tidak puas dengan kinerja Heri Nabit selama menjabat lima tahun sebagai Bupati Manggarai.
Bahkan setelah menyampaikan dua kalimat tersebut kampanye/orasi tidak langsung dihentikan oleh Calon Bupati yang bersangkutan, sehingga tidak terdapat kesengajaan/niat untuk menyampaikan 2 (dua) kalimat a quo dengan maksud menghina dan memfitnah Heri Nabit secara personal serta menghasut.
“Bahwa lagi pula tidak tepat ajakan untuk tindak memilih Heri Nabit tersebut bukanlah hasutan yang dilarang oleh UU Pilkada, sebab semua Calon Kepala Daerah saat kampanye justru tujuannya adalah mengajak orang-orang untuk memilih dirinya dan tidak memilih Peserta Pilkada lain,” kata dia. ***