Oleh: Lusia Maryeta Menge
Opini, Okebajo.com – Fenomena “childfree” mencerminkan keputusan seseorang atau pasangan untuk tidak memiliki anak. Di Indonesia, meskipun masih jarang, tren ini mulai menarik perhatian, terutama di kalangan urban yang lebih terbuka terhadap konsep-konsep baru tentang kehidupan dan keluarga. Meskipun begitu, nilai-nilai tradisional yang menekankan pentingnya memiliki keturunan masih kuat di masyarakat.
Fenomena “childfree” di Indonesia memiliki beragam sudut pandang. Beberapa melihatnya sebagai pilihan yang sah yang perlu dihormati, mengakui kebebasan individu untuk menentukan gaya hidup tanpa tekanan sosial.
Namun, ada juga yang menganggapnya tidak wajar atau bahkan egois, terutama karena adanya norma-norma tradisional yang memprioritaskan keluarga dan keturunan. Namun, dengan meningkatnya kesadaran akan isu-isu seperti pertambahan penduduk dan keberlanjutan lingkungan, beberapa mulai melihat fenomena “childfree” sebagai kontribusi positif terhadap masa depan planet kita.
Dalam segala hal, penting untuk menghormati pilihan individu tanpa menghakimi. Tentu saja, ada dampak positif dan negatif dari fenomena “childfree”.
Kebebasan dan fleksibilitas individu atau pasangan yang memilih “childfree” memiliki lebih banyak kebebasan untuk mengejar karier, minat pribadi, dan tujuan hidup lainnya tanpa tanggung jawab orang tua.
Stabilitas finansial juga menjadi keuntungan, karena tanpa biaya yang terkait dengan memiliki anak, pasangan “childfree” mungkin memiliki stabilitas finansial yang lebih baik.
Dampak lingkungan juga positif, dengan tidak menambah populasi, pasangan “childfree” dapat membantu mengurangi tekanan terhadap lingkungan dan sumber daya alam.
Namun, ada juga dampak negatifnya. Pasangan “childfree” mungkin menghadapi tekanan sosial atau stigma dari masyarakat yang masih menganggap pentingnya memiliki anak sebagai norma.
Mereka juga mungkin menghadapi risiko kesendirian di usia tua tanpa anak yang merawat mereka, serta merasa kehilangan kesempatan untuk meneruskan garis keturunan mereka.
Setiap individu atau pasangan memiliki pertimbangan unik dalam memilih jalur kehidupan mereka, dan dampaknya dapat bervariasi tergantung pada keadaan dan nilai-nilai pribadi mereka.
Pandangan masyarakat Indonesia terhadap “childfree” seringkali berkaitan dengan keyakinan agama dan budaya. Namun, dalam masyarakat yang lebih terbuka dan inklusif, penting untuk menghormati pilihan hidup orang lain tanpa tekanan atau diskriminasi.
Ahli sosiologi dari Universitas Indonesia, Diah Kusumaningrum, menekankan perlunya pemahaman yang lebih luas dan inklusif terhadap pilihan hidup “childfree”. Masyarakat perlu belajar untuk menghargai pilihan hidup orang lain, termasuk pilihan untuk tidak memiliki anak. Selain itu, pasangan yang memilih “childfree” perlu mempersiapkan diri dengan matang dan mempertimbangkan konsekuensi dari pilihan hidup mereka.
Keputusan untuk memilih jalur “childfree” memang memunculkan banyak diskusi dan refleksi dalam masyarakat. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap individu memiliki hak untuk menentukan arah hidupnya sendiri, sesuai dengan nilai dan keinginan yang mereka miliki.
Dalam konteks Indonesia yang kaya akan nilai-nilai budaya dan agama, penting untuk memperluas pemahaman tentang konsep keluarga dan kebahagiaan. Keluarga tidak selalu harus terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Ada berbagai bentuk keluarga yang valid dan berharga, termasuk keluarga yang memilih untuk tidak memiliki anak.
Masyarakat perlu memperluas pandangan mereka tentang definisi kebahagiaan dan kesuksesan, sehingga individu yang memilih “childfree” tidak merasa dikecilkan atau tidak diakui dalam masyarakat. Mendukung pilihan hidup yang beragam adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih inklusif dan berempati.
Dengan demikian, fenomena “childfree” dapat dilihat sebagai salah satu aspek dari kebebasan individu dalam menentukan jalan hidup mereka sendiri. Penting untuk terus membuka ruang untuk dialog dan penghargaan terhadap pilihan hidup yang beragam, sehingga setiap individu merasa dihargai dan diterima dalam masyarakat.**
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang.
Catatan redaksi : Semua isi tulisan dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penuh dari penulis.