Labuan Bajo, Okebajo.com – Keluarga besar ahli waris alm. Ibrahim Hanta menyebut bahwa sengketa lahan di Keranga, Labuan Bajo, berawal dari Surat Perolehan yang diduga palsu tertanggal 10 Maret 1990, dengan klaim luas lahan mencapai 16 hektar. Dokumen ini digunakan sebagai dasar oleh pihak ahli waris alm. Nikolaus Naput untuk menerbitkan 5 sertifikat hak milik (SHM) dan mengklaim kepemilikan atas tanah tersebut.
Fakta ketika PS (Pemeriksaan Setempat) oleh Majelis Hakim PN (Pengadilan Negeri) Labuan Bajo atas Perkara no.1/2024 dimana putusannya kemudian bahwa Pihak Niko Naput dan Santosa Kadiman kalah, ini salah satu bukti bahwa alas hak pihak Niko Naput berupa surat tertanggal 10 Maret 1990 seluas 16 hektarnya itu diangggap tidak ada, alias palsu, dan salah lokasi, dan lebih jelasnya lagi “tidak ada tanahnya”.
Menurut Jon Kadis, S.H., salah satu anggota tim Penasihat Hukum ahli waris Ibrahim Hanta bahwa pihak Niko Naput dan Santosa Kadiman bahkan tidak mengetahui batas-batas tanah yang mereka klaim.
“Pihak PH Niko Naput dan Santosa Kadiman, pembeli tanah seluas 40 ha yang berlokasi di Torolema/Keranga, tidak mengetahui batas-batasnya, mereka malah menunjukkan lokasi yang sama di tanah 11 ha milik ahli waris Ibrahim Hanta. Di lapangan juga petugas BPN mengakui salah lokasi, salah ploting”, kata Jon (Rabu, 18/12/2024).
Hal ini dia tegaskan karena ada berita dari pihak Nikolaus Naput dan Santosa Kadiman bahwa mereka berhak atas tanah itu berdasarkan surat alas hak 10 Maret 1990, luas 16 ha, yang dibeli oleh Niko Naput dari Nasar Supu.
“Surat alas hak yang disebut Pengacaranya Niko Naput dan Santosa Kadiman itu sudah tak ada lagi tanahnya. Tanah itu dulu berada di tanah Pemda Manggarai Barat dalam perkara Tipikor itu, dan surat 10 Maret 1990 itu sudah dibatalkan oleh fungsionaris ulayat, karena apa? Ya karena setelah dicek dan untuk diukur oleh kuasa Penata, Hj Adam Djuje tahun 1998, ternyata tumpang tindih diatas tanah Pemda itu,” jelasnya
Sementara itu, Surion Florianus Adu, aktivis peduli Manggarai Barat, menjelaskan bahwa tanah yang diklaim berdasarkan surat alas hak tersebut sebenarnya sudah dibatalkan sejak 1998 oleh fungsionaris ulayat.
“Tanah itu dulu berada di kawasan tanah Pemda dan sudah dibatalkan oleh Hj Ishaka dan Haku Mustafa. Kalau sekarang ada yang membawa surat itu lagi, isinya dapat diduga kuat palsu,” tegasnya.
Ia menuturkan, Haji Ramang sendiri sebagai turunan Haji Ishaka Fungsionaris Ulayat saat beri keterangan di bawah sumpah di perkara Tipikor Kupang, mengatakan bahwa tanah Niko Naput itu sudah tak ada di tanah pemda Mnggarai Barat sejak tahun 1998 karena sudah dibatalkan oleh Fingsionaris ulayat, Hj Ishaka dan Haku Mustafa.
“Ada surat pembatalannya. Surat alas hak itu sudah tak ada. Kalau kemudian ada lagi, isinya masih ada, maka dapat diduga kuat itu surat palsu yang dibuat oleh Niko Naput atau Santosa Kadiman. Tapi tetap ujung-ujung adalah ‘tidak ada tanahnya tuh”. Semisal ia masih ngaku punya tanah itu, maka lokasinya di tanah Pemda dong. Itu berarti, ahli waris Nikolaus Naput dan Santosa Kadiman harusnya berada dalam penjara sekarang bersama Gusti Dula mantan Bupati Manggarai Barat”, lanjut Florianus
Zoelkarnain Djuje, anak dari Hj Adam Djuje, mendukung pernyataan tersebut. Ia menyebut SHM (Sertifikat Hak Milik) milik ahli waris Niko Naput di atas tanah Keranga tidak sah dan harus dibatalkan. Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga kepastian hukum demi keberlanjutan kawasan pariwisata super premium di Labuan Bajo.
“SHM-SHM anak-anak Niko Naput di tanah orang lain di Keranga itu, apalagi di atas lahan milik orang lain seperti di tanah 11 ha ahli waris Ibrahim Hanta, adalah tidak sah, dan oleh karena itu dibatalkan. Tindakan penyerobotan itu harus dilapor ke Polisi. Ini untuk menjaga keberlanjutan kawasan pariwisata super premium ini, karena investor melangkah mantap karena ada kepastian hukum atas tanah di sini”, kata Zoelkarnain.
Lebih jauh, dugaan kepalsuan surat alas hak ini diperkuat oleh informasi dari keluarga Nasar Supu, pemilik asli tanah Keranga.
“Dan surat 10 Maret 1990 yang dipegang PH ahli waris Niko Naput (bersama Santosa Kadiman) itu kuat sekali dugaan itu palsu. Kenapa? Saya memperoleh informasi dari anggota keluarga Nasar Supu, maaf saya tak sebut namanya, bahwa tanah Nasar Supu di Kerangan itu hanya 4 hektar, dan hanya 4 ha itu yang dijual-beli ke Niko Naput. Dan orang itu masih simpan kwitansinya. Bayarnya dulu cicil lagi. Bapak Nasar bolak balik pergi nagih ke Niko Naput di Ruteng, naik oto truck. Jadi, angka 16 ha di surat itu tipuan mafia,” ungkap Zoelkarnain
Suhardin, mantan Kepala BPN yang pernah bertugas di beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT), memberikan tanggapan kritis terhadap pihak BPN Manggarai Barat, terkait kasus sengketa tanah ini.
Menurutnya, sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 21 Tahun 2020 tentang Penyelesaian Sengketa Pertanahan, BPN memiliki kewenangan untuk menangani kasus semacam ini. Jika ditemukan kesalahan prosedur, cacat administrasi, atau kekeliruan dalam proses penerbitan sertifikat, Kantor Pertanahan (Kantah) seharusnya segera melaporkan kasus tersebut ke Kantor Wilayah (Kanwil) agar sertifikat yang dianggap cacat hukum dapat dibatalkan.
“Pihak Kantah BPN Manggarai Barat seharusnya melaporkan kasus ini ke Kanwil sehingga bisa diambil tindakan pembatalan sertifikat tanpa menunggu putusan pengadilan. Namun, tampaknya Kantah BPN Mabar enggan melakukan pembatalan karena ada campur tangan pihak-pihak berkepentingan seperti Haji Ramang dan mafia tanah lainnya,” jelas Suhardin kepada media ini beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut, Suhardin menyoroti temuan dari operasi intelijen Kejaksaan Agung yang mengungkap adanya pelanggaran dalam penerbitan sertifikat tersebut. Menurutnya, hasil temuan tersebut seharusnya sudah cukup bagi BPN untuk mengambil langkah pembatalan tanpa perlu menunggu putusan ingkrah dari pengadilan. Namun, BPN tampaknya khawatir akan adanya intimidasi dari para mafia tanah yang diduga memiliki pengaruh kuat di balik kasus ini.
Ia mengatakan, fakta bahwa ahli waris keluarga Ibrahim Hanta telah memperoleh surat pengakuan adat yang asli semakin memperkuat posisi mereka dalam kasus ini. Sertifikat atas nama Maria Fatmawati Naput dan Paulus Grant Naput dianggap tidak sah karena tidak didasari surat perolehan tanah asli dari ketua adat setempat.
Suhardin menegaskan, hasil operasi intelijen Kejaksaan Agung dapat dijadikan bahan pertimbangan kuat oleh hakim di pengadilan untuk memberikan keputusan yang adil bagi keluarga Ibrahim Hanta.
Suhardin menilai bahwa sikap BPN yang terkesan tidak bertindak tegas dalam membatalkan sertifikat bermasalah disebabkan oleh ketakutan terhadap mafia tanah, yang ditengarai melibatkan praktik gratifikasi.
Selanjutnya, kasus ini semakin panas setelah adanya laporan dari Muhammad Syair yang menuding tandatangan pada surat pembatalan tanah tersebut palsu.
“Nah kalau sekarang orang yang bernama Muhamad Syair melapor penggugat pemilik tanah 11 ha, bahwa tandatangan surat-surat pembatalan tanah sesuai surat tgl 10 Maret 1990 itu palsu, maka itu dapat diduga kuat bahwa surat 16 ha itu juga hasil tipuan, alias palsu” tambah Florianus
Hal senada juga dikatakan Jon Kadis. Ia mengatakan, jika benar surat alas hak 16 hektare itu hasil rekayasa, maka Muhammad Syair berpotensi dilaporkan ke polisi. Kabarnya, laporan ke Bareskrim Polri akan segera dibuat.
“Muhamad Syair berpotensi dilapor ke Polisi. Saya dengar ia akan segera dilaporkan ke Bareskrim Polri,” tutup Jon Kadis.
Putusan PN Labuan Bajo
Dalam putusan terbaru Pengadilan Negeri Labuan Bajo, sertifikat hak milik (SHM) atas nama Maria Fatmawati Naput dan Paulus Grans Naput dinyatakan cacat hukum. Keputusan ini berimbas pada pembatalan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara Kadiman Santosa, pemilik Hotel St. Regis, dengan Nikolaus Naput yang dibuat di hadapan Notaris Bili Ginta.
Putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada 23 Oktober 2024 yang memenangkan keluarga ahli waris Ibrahim Hanta semakin menguatkan dugaan bahwa praktik mafia tanah di Labuan Bajo melibatkan jaringan yang terstruktur hingga kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat.
Dalam putusan tersebut, hakim menyatakan bahwa tanah seluas 11 hektar di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, sah dimiliki oleh ahli waris almarhum Ibrahim Hanta.
Diketahui, pihak ahli waris Niko Naput sebelumnya sudah dilaporkan ke Polres Manggarai Barat sejak September 2022, namun hingga kini proses hukum terhadap laporan tersebut masih mandek.