Oleh : Marselinus Yulius Guntur
OPINI, Okebajo.com, – Baru-baru ini, media sosial diramaikan oleh serangkaian kasus kontroversial yang melibatkan pihak Bea Cukai. Mulai dari pengiriman sepatu senilai Rp10 juta yang dikenai bea masuk hingga Rp30 juta, hingga pengiriman barang bantuan untuk Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berujung pada tuntutan pembayaran ratusan juta rupiah. Radhika Althaf, seorang warga net, memperjuangkan kasus tersebut di platform media sosial.
Kisah tak kalah menghebohkan adalah pengiriman alat belajar siswa tunanetra bernama Taptilo dari Korea Selatan ke Indonesia. Meskipun merupakan hibah, pihak sekolah di Jakarta malah dihadapkan pada tuntutan pengurusan dokumen dan pembayaran yang tak terduga. Viralnya cuitan di Twitter terkait penahanan barang tersebut memperlihatkan ketidakpahaman yang cukup mencolok dalam penanganan barang hibah oleh pihak Bea Cukai.
Namun, sorotan terbesar jatuh pada aksi seorang pria yang memilih untuk merobek tas mewah Hermes di depan petugas Bea Cukai daripada membayar pajak sebesar Rp26 juta. Kejadian ini menimbulkan tanda tanya besar terkait transparansi dan kesadaran akan kewajiban pembayaran bea masuk.
Kedepannya, penting bagi pihak Bea Cukai untuk meningkatkan transparansi dan ketelitian dalam menghitung pajak barang impor. Langkah-langkah yang lebih cermat dapat mencegah terulangnya kasus-kasus kontroversial yang merugikan masyarakat dan mengikis kepercayaan terhadap lembaga tersebut.
Memperbaiki Citra: Transformasi Bea Cukai Menuju Pelayanan yang Lebih Baik
Kontroversi-kontroversi yang melibatkan pihak Bea Cukai belakangan ini menjadi pukulan bagi citra lembaga tersebut di mata publik. Namun, di balik sorotan negatif itu, ada kesempatan bagi Bea Cukai untuk melakukan transformasi yang mendalam, menjadikan pelayanannya lebih transparan, efisien, dan ramah pengguna.
Pertama-tama, penting bagi Bea Cukai untuk memperbaiki proses penghitungan bea masuk. Pelatihan yang intensif bagi petugas yang bertanggung jawab dalam menentukan besarnya pajak dapat meminimalisir kesalahan dan ketidakpastian bagi para importir. Dengan demikian, keterbukaan dan kepercayaan dapat dibangun antara Bea Cukai dan masyarakat.
Selain itu, perlu adanya sosialisasi yang lebih luas mengenai aturan dan prosedur impor kepada masyarakat umum. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang kewajiban dan hak mereka sebagai importir, masyarakat akan lebih siap menghadapi proses bea cukai yang transparan dan teratur.
Tidak kalah pentingnya adalah adopsi teknologi dalam sistem bea cukai. Implementasi sistem digital dapat mempercepat proses pengurusan dokumen dan penghitungan bea masuk, mengurangi risiko kesalahan manusia, dan memastikan efisiensi yang lebih besar dalam pelayanan.
Transformasi Bea Cukai bukanlah hal yang mudah, namun dengan komitmen yang kuat dan langkah-langkah yang tepat, lembaga ini dapat kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat dan berperan sebagai garda terdepan dalam mengawasi arus barang impor yang masuk ke Indonesia.**
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Tribhuwana Tunggadewi malang.
Catatan redaksi : Semua isi tulisan dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penuh dari penulis.