Opini  

Dampak Terjadinya Politik Dinasti

Avatar photo
Jhon Stone Masir, (Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Trhibuwana Tunggadewi Malang). Foto/Ist

OPINI, Okebajo.com, – Praktek politik dinasti di tanah air kerap kali menjadi perbincangan yang hangat dalam setiap momentum pemilihan umum. Pemilihan presiden tahun ini pun politik dinasti tak bisa dihindari dalam ruang demokrasi electoral.

Akan tetapi di alam demokrasi terbuka, seperti di Indonesia, politik dinasti pun tetap langgeng dan tumbuh subur. Konsep demokrasi yang ideal dan terbuka sebenarnya diharapkan dapat mengikis terjadinya politik dinasti tak seperti sistem monarki.

Pertanyaannya apakah dengan stigma negatif terkait politik dinasti lantas “membunuh” hak politik seseorang untuk berkarya dan mengabdi bagi negeri? Apakah salah jika seseorang dilahirkan dari orang tuanya yang merupakan seorang pemimpin?.

Muhammad Irham Fuadi (2010) dalam tulisannya “Berkembangnya Dinasti Politik di Indonesia” mengatakan bahwa ada potensi abuse of power dalam dinasti yang akan menimbulkan korupsi yang diikuti oleh kolusi dan nepotisme. Hal ini sinkron dengan teori Lord Acton bahwa Absolutely power tends to corrupt

Apakah wajar apabila jabatan seorang kepala pemerintsahan diteruskan oleh istri, anak , atau kerabat dekatnya? Di negara kita sedang terjadi praktek penerusan kekuasaan pada orang-orang terdekat.

Politik dinasti adalah fenomena politik munculnya calon dari lingkungan keluarga kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Dinasti politik yang dalam bahasa sederhana dapat diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik atau aktor politik yang dijalankan secara turun-temurun atau dilakukan oleh salah keluarga ataupun kerabat dekat.

Rezim politik ini terbentuk dikarenakan concern yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap perpolitikan dan biasanya orientasi dinasti politik ini adalah kekuasaan.

Dinasti politik merupakan sebuah serangkaian strategi manusia yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya.

Dalam sebuah lembaga politik, mereka yang masih mempunyai hubungan dekat dengan keluarga acap kali mendapatkan keistimewaan untuk menempati berbagai posisi penting dalam puncak hirarki kelembagaan organisasi.

Beberapa pengamat menilai bahwa, Dinasti politik akan menumbuhkan oligarki politik dan iklim yang tidak kondusif bagi upaya regenerasi kepemimpinan politik dimana kekuasaan hanya berkutat atau dikuasai oleh orang-orang mempunyai pertalian kekerabatan atau berasal dari satu keluarga, tanpa memberikan celah kepada pihak lain untuk ikut berpartisipasi, disamping itu Politik dinasti akan berdampak buruk bagi akuntabilitas birokrasi dan pemerintahan, karena cenderung serakah dan rawan terjadinya praktek KKN.

Dinasti politik di Indonesia sebenarnya adalah sebuah hal yang jarang sekali dibicarakan atau menjadi sebuah pembicaraan, padahal pada prakteknya dinasti politik secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi benih dalam perpolitikan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan.

Dinasti politik sebenarnya adalah sebuah pola yang ada pada masyarakat modern Barat maupun pada masyarakat yang meniru gaya barat. Hal ini dapat terlihat dalam perpolitikan di Amerika dan juga di Filipina.

Dinasti politik tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat demokratis-liberal. Tetapi pada hakikatnya dinasti politik juga tumbuh dalam masyarakat otokrasi dan juga masyarakat monarki, dimana pada system monarki sebuah kekuasaan sudah jelas pasti akan jatuh kepada putra mahkota dalam kerajaan tersebut.

Akibat Dari Politik Dinasti ini maka banyak pemimpin lokal menjadi politisi yang mempunyai pengaruh sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam system pemerintahan.

Dalam Penegakan hukum di Indonesia, sering tergagap ketika terbentur kepentingan politik atau perkara yang ditanganinya bersentuhan langsung dengan kekuatan politik yang sedang berkuasa meski pada kondisi tertentu penegak hukum cukup tegas menghadapi penguasa, namun secara umum tidak demikian dan bahkan terkesan alergi penguasa.

Dinasti politik memiliki sisi negatif dan sisi positif. Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Firman Noor, menyebut beberapa dampak negatif dan positif dari dinasti politik. Hal ini disampaikan oleh Prof Firman Noor saat menjadi narasumber diskusi bertajuk “Dinasti Politik Menghambat Konsolidasi Demokrasi”, yang diselenggarakan Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita, secara virtual, Minggu malam (29/10).

Firman menyampaikan sisi negatif dari dinasti politik antara lain adalah korupsi, inequality, kriminal dan kejahatan HAM, hingga poverty.

Sedangkan dampak positif yang dapat terjadi antara lain adalah stability, certainy, preserving good values, hingga quality of life.

Firman menyampaikan sisi negatif dari dinasti politik antara lain adalah korupsi, inequality, kriminal dan kejahatan HAM, hingga poverty. Sedangkan dampak positif yang dapat terjadi antara lain adalah stability, certainy, preserving good values, hingga quality of life.

Terdapat beberapa hal yang menjadi problem bahwa dinasti politik di Indonesia cenderung negatif. Menurut Firman, dinasti politik di Indonesia biasanya adalah pemilik kekuasaan ekonomi di satu wilayah.

Oleh karena itu, sangat mudah meraih kekuasaan dan memanipulasi kekuasaan tanpa lawan tanding yang tangguh.

Selain itu, para pelaku dinasti politik beranggapan, yang terpenting adalah menciptakan terpeliharanya dinasti politik. Mereka tidak suka kebebasan, apalagi berlelah-lelah bersaing.

Dinasti politik Indonesia juga ditopang masyarakat yang masih permisif terhadap budaya feodalistik. Banyak masyarakat belum tercerahkan dan menganggap politik urusan orang-orang pintar, atau hanya untuk orang-orang yang punya trah berkuasa.

Kondisi ini memang cukup mengkhawatirkan, bukan hanya karena keluarga ikut menggantikan. Namun ekses negatif dari hasrat berkuasa yang sering menimbulkan persoalan di ruang publik.

Alih-alih berkompetisi secara adil dan terbuka, proses pencalonan hingga pemenangan justru menggunakan beragam cara asal keluarga berkuasa. Kondisi ini memang cukup mengkhawatirkan, bukan hanya karena keluarga ikut menggantikan. Namun ekses negatif dari hasrat berkuasa yang sering menimbulkan persoalan di ruang publik.

Alih-alih berkompetisi secara adil dan terbuka, proses pencalonan hingga pemenangan justru menggunakan beragam cara asal keluarga berkuasa. **

Oleh : Jhon Stone Masir, (Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Trhibuwana Tunggadewi Malang)

Okebajo.com adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *